Pada tahun 2019, jumlah anak di Indonesia mencapai 84,4 juta yang terdiri dari 43,2 juta anak laki-laki, dan 41,1 juta anak perempuan[1]. Dari 84,4 juta anak tersebut, terdapat anak yang telah diadopsi oleh orang lain yang bukan orang tua kandung mereka. Tradisi memelihara, mengangkat, atau mengasuh anak orang lain sudah seringkali dilakukan di Indonesia dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda. Permasalahan pengangkatan anak tidak akan terjadi apabila terdapat cara tepat, jelas, serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (legally binding).
Indonesia telah mengatur mengenai prosedur terkait dengan pengangkatan anak yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP 54/2007). UUPA memberikan definisi Anak Angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Jika melihat dari definisi anak angkat tersebut, pengangkatan anak harus dimohonkan ke pengadilan untuk kemudian diputus atau ditetapkan oleh pengadilan[2]. Namun, UUPA dan PP 54/2007 memberikan pengecualian bagi komunitas yang secara nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat.[3]
Pengangkatan anak dapat dilakukan melalui 2 (dua) metode, yaitu berdasarkan adat kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Walaupun terdapat perbedaan cara, tetapi pada akhirnya pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat juga dapat dimohonkan penetapan pengadilan. Penetapan atau putusan pengadilan yang telah inkracht ini lah yang bersifat final and binding sehingga apabila terdapat permasalahan, dapat menjadi bukti yang kuat. Langkah pengangkatan anak yang kemudian ditetapkan atau diputuskan oleh pengadilan merupakan langkah preventif yang sepatutnya dilakukan sebelum terjadi konflik dikemudian hari.
Konflik yang dapat terjadi dikemudian hari apabila pengangkatan anak tidak berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan salah satunya adalah konflik kewarisan. Dalam hukum kewarisan Islam, anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya karena prinsip kewarisan dalam hukum Islam pada umumnya hanya diperuntukkan untuk orang yang memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dari pewaris[4]. Disebutkan dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu:
Berdasarkan Pasal 209 KHI di atas, anak angkat tetap mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya sebanyak ? (satu pertiga) harta waris orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah. Secara tersirat, unsur-unsur wasiat wajibah yang terdapat dalam Pasal 209 KHI yaitu:
Dalam sistem hukum Islam di Indonesia, tidak terdapat definisi wasiat wajibah secara formal. Wasiatwajibah merupakan wasiat yang diterima oleh seseorang dari pewaris meskipun secara nyata pewaris tidak meninggalkan wasiat kepada orang tersebut. Wasiat wajibah dalam pelaksanaannya tidak bergantung kepada kehendak pewaris,[6] karena sifatnya wajib dan harus ditunaikan terlebih dahulu sebelum pembagian warisan kepada para ahli waris dari pewaris[7].
Kewarisan terhadap anak angkat ini akan menjadi permasalahan apabila tidak dilakukan dengan cara yang sesuai ketentuan yang berlaku. Hingga saat ini, di kehidupan masyarakat masih banyak ditemukan orang yang mengangkat anak ketika anak tersebut masih kecil dan belum memiliki akta kelahiran. Ketika anak tersebut akan dibuatkan akta kelahiran, maka orang tua angkat mencantumkan namanya di akta kelahiran anak tersebut sebagai orang tua kandung anak angkatnya. Cara ini merupakan cara yang salah dan bertentangan, serta akan menimbulkan permasalahan kewarisan dikemudian hari antara ahli waris dari orang tua angkat dengan anak angkatnya. Permasalahan kewarisan seperti ini banyak dijumpai di masyarakat, namun, tidak semua permasalahan tersebut berakhir sengketa di pengadilan. Di antara mereka banyak yang lebih memilih untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Pengangkatan anak dengan cara mencantumkan orang tua angkat sebagai orang tua kandung tidak serta merta menjadikan mereka memiliki hubungan darah sehingga dapat saling mewarisi. Jika timbul sengketa kewarisan antara ahli waris orang tua angkat dengan anak angkat, maka tetap harus dibuktikan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan darah. Pada dasarnya akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan akta otentik yang mempunyai nilai pembuktian yang sempurna. Berdasarkan Pasal 164 HIR, adapun alat bukti dalam Hukum Acara Perdata yaitu:
Dalam suatu perkara perdata bukti surat/tulisan termasuk alat bukti yang utama karena dalam lalu lintas keperdataan sering orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan lazimnya berupa tulisan.[8] Sehingga, apabila terdapat kasus kewarisan antara ahli waris dengan anak angkat, maka sudah cukup akta kelahiran tersebut menjadi bukti bagi anak angkat tersebut.
Bukti tulisan merupakan bukti yang utama dalam pembuktian hukum acara perdata, tetapi bukan memiliki arti bahwa bukti tulisan tidak dapat dibantah oleh bukti lainnya. Kesaksian adalah keterangan yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa yang diperkarakan dengan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.[9] Keterangan yang dimaksud tersebut harus disampaikan oleh orang yang melihat, mengalami, dan mengetahui sendiri peristiwa yang diperkarakan tersebut. Apabila kesaksian tersebut disampaikan berdasarkan keterangan orang lain, maka tidak dapat diterima sebagai alat bukti (testimonium de auditu / hearsay evidence). Jika dimungkinkan, keterangan orang tua kandung dari anak angkat tersebut dapat diberikan di persidangan untuk memberikan kesaksian terkait asal usul anak angkat tersebut. Namun bukan hanya kesaksian orang tua kandung dari anak angkat tersebut saja, dapat dilakukan tes DNA untuk memperkuat dalil dari kesaksian tersebut.
DNA (Deoxirybo Nucleic Acid) merupakan senyawa kimia yang paling penting pada makhluk hidup karena membawa keterangan genetik dari makhluk hidup dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.[10] Fungsi dari DNA tersebut mampu mengidentifikasi keturunan dan mampu menentukan orang tua kandung, karena setiap anak yang dilahirkan harus menerima gen dari masing-masing orang tuanya. Untuk dapat mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan khusus, yaitu kedokteran forensik.[11] Hasil dari tes DNA hampir 100% akurat bila dikerjakan dengan benar.[12] Hasil tes DNA sebagai alat bukti qarinah[13] dapat menjadi bukti kuat untuk menjatuhkan suatu putusan dalam suatu perkara, namun qarinah itu harus jelas dan tidak mengandung kesamaran sehingga bersifat meyakinkan.[14] Walaupun dapat menjadi bukti kuat, hasil tes DNA merupakan alat bukti sekunder yaitu hanya berfungsi sebagai penguat alat bukti primer, sehingga harus tetap didukung oleh alat bukti lain.[15] Maka dari itu keterangan dari orang tua kandung anak angkat tersebut diperlukan di hadapan persidangan.
Pengangkatan anak yang dilakukan tidak berdasarkan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan akan menyimpan permasalahan yang memungkinkan untuk menjadi sengketa dikemudian hari. Hal ini ditimbulkan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap prosedur pengangkatan anak yang sah dan kurangnya pengetahuan bahwa anak angkat tetap mendapatkan bagian warisan dari orang tua angkatnya melalui wasiatwajibah. Selain untuk menghindari sengketa dikemudian hari, prosedur pengangkatan anak yang dilakukan sesuai dengan prosedur juga memberikan kepastian hukum walaupun kedudukan anak angkat sudah jelas tetap menjadi anak angkat, bukan menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya.
DAFTAR BACAAN
BUKU
Hulam, Taufiqul, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Kurnia Kalam, Yogyakarta, 2005.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Profil Anak Indonesia 2020, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006.
Suparman, Eman, Intri Sari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1991
Suryo, Genetika untuk Strata I, UGM Press, Yogyakarta, 2019.
JURNAL
Pramono, Dedy, ‘Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia’, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 3, Desember 2015.
Setiawan, Eko, ‘Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Kajian Normatif Yuridis’, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017.
Syafi’i, ‘Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia’, Misykat, Vol. 2, No. 2, Desember 2017.
SKRIPSI
Asufah, Sufah, Studi Komparatif Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali Tentang Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan, Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Lampung.
Muhtarom, Ali, ‘Tes DNA (Deoxirybo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Hubungan Nasab dalam Perspektif Hukum Islam’, Skripsi, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2009.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4768).
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
[1] Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Profil Anak Indonesia 2020, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, h. 7.
Pasal 1 Angka 9 UUPA
[3] Pasal 39 Ayat (1) UUPA dan Pasal 9 PP 54/2007
[4] Sufah Asufah, Studi Komparatif Pemikiran Hazairin dan Munawir Sjadzali Tentang Bagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan, Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Lampung, h. 27-28.
[5] Syafi’I, ‘Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia’, Misykat, Vol. 2, No. 2, Desember 2017, h. 124
[6] Eman Suparman, Intri Sari Hukum Waris Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1991, h. 37.
[7] Eko Setiawan, ‘Penerapan Wasiat Wajibah Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Kajian Normatif Yuridis’, Muslim Heritage, Vol. 1, No. 2, November 2016 – April 2017, h. 47-50.
[8] Dedy Pramono, ‘Kekuatan Pembuktian Akta yang Dibuat oleh Notaris Selaku Pejabat Umum Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia’, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 3, Desember 2015, h. 251.
[9] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, h. 166
[10] Suryo, Genetika untuk Strata I, UGM Press, Yogyakarta, 2019, h. 57.
[11] Ali Muhtarom, ‘Tes DNA (Deoxirybo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Hubungan Nasab dalam Perspektif Hukum Islam’, Skripsi, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, h. 7-8.
[12] Ibid., h. 72.
[13] Secara singkat, qarinah adalah petunjuk/tanda yang mencapai batas keyakinan.
[14] M. Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Bina Ilmu, Surabaya, 1993, h. 121.
[15] Taufiqul Hulam, Reaktualisasi Alat Bukti Tes DNA: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Kurnia Kalam, Yogyakarta, 2005, h. 131.