Setiap warga memiliki kesamaan hak serta kewajiban di hadapan negara baik terkait masalah privasi maupun yang menyangkut kepentingan publik. Masing-masing hak tersebut dijamin oleh negara yang diakomodir melalui peraturan perundang-undangan, negara hadir guna memastikan bahwasanya amanat Undang-undang dasar negara republik Indonesia telah terealisasi, meminimalisir berbagai penyelewengan serta menghadirkan peraturan yang mengatur. Salah satu hak yang akan di bahas dalam tulisan ini terkait peraturan tentang perceraian yang akan dikaitkan kepada pegawai negeri yang memiliki aturan administrasi dan pedoman disiplin sehingga tidak dapat disamakan dengan warga negara lain.
Pegawai Negeri Sipil juga merupakan salah satu komponen warga negara yang mendapatkan penjaminan hak oleh negara, terutama tentang aturan terkait peristiwa perkawinan maupun turunan terhadap kejadian dari UU perkawinan. yang secara khusus harus diimplementasikan dalam peraturan, sehingga dikeluarkanlah peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Aturan tersebut bertujuan dapat mengatur pegawai negeri dalam hal kedisiplinan administratif terkait statusnya karena akan berpengaruh terhadap aspek-aspek lain dalam kepegawaian (pemberian tunjangan, informasi tanggungan, keanggotaan pasangan dalam organisasi wanita).
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 yang telah dicabut dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN adalah Profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah. ASN terikat pada nilai dasar, kode etik dan perilaku, komitmen, integritas moral, tanggung jawab pelayanan terhadap publik yang pada awalnya berasal dari sebuah kualifikasi akademik demi terjaminnya profesionalitas jabatan. PNS secara khusus dapat kita fahami sebagai warga negara yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pada pemerintahan. Sedangkan PPPK adalah warga negara yang memenuhi syarat tertentu, diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perizinan perkawinan dan perceraian yang menjadi pembahasan ketentuan PNS adalah sebagai berikut :
Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah mengenai pengertian hidup bersama yang tidak diatur sebelumnya. Dalam Peraturan Pemerintah ini disamping diberikan batasan yang lebih jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan hidup bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 berbeda-beda maka sanksi terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam Peraturan Pemerintah ini diubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan.
Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, apabila melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah ini, dikenakan pula hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis yang ditujukan kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan hal ini juga berlaku pada PNS yang telah menjadi duda ataupun janda yang hendak melakukan pernikahan lagi. Dalam PP 45 tahun 1990 yang menjadi perubahan atas PP 10 tahun 1983 ada beberapa hal yang dirubah diantaranya sebagai berikut :
Pegawai negeri sipil jika ingin melakukan pernikahan kedua kali dan seterusnya maupun perceraian harus mengikuti prosedur-prosedur kelembagaan yang ditentukan dalam PP 10 tahun 1983 jo. PP 45 tahun 1990, secara administratif dapat dipantau, dilakukan penyesuaian terhadap status kepegawaian dan tidak dapat dijatuhi hukuman disiplin. Pada pasal 3 ayat 1 PP no. 45 tahun 1990 menyebutkan bahwasanya merupakan sebuah kewajiban bagi pegawai negeri untuk melakukan pelaporan dan meminta izin kepada atasan, dengan ketentuan sebagai berikut:
Permintaan/pelaporan terkait status pribadi pegawai negeri juga harus dilakukan pada masalah pernikahan pertama, pernikahan kembali setelah menjadi duda/janda maupun keinginan melakukan poligami, Menjadi istri kedua, ketiga atau keempat (pasal yang mengatur telah dihapus yang menandakan tidak diperbolehkan bagi PNS). Pelaporan dan permintaan izin harus dilakukan secara tertulis, diwujudkan dengan surat izin dari pejabat. Pada dasarnya, dalam rangka usaha merukunkan kembali isteri yang bersangkutan, Pejabat harus memanggil mereka secara langsung dan memberikan nesehat secara pribadi, tetapi apabila tempat kedudukan Pejabat dan tempat suami/isteri yang bersangkutan berjauhan, maka Pejabat dapat memerintahkan Pejabat lain dalam lingkungannya untuk berusaha merukunkan kembali suami/isteri tersebut.
Alasan yang harus disampaikan dalam surat permohonan perceraian harus dipertimbangkan oleh atasan, jika belum jelas pejabat dapat memeriksa secara lebih lanjut bahwasanya alasan yang disampaikan adalah benar. Pejabat tidak dapat menerima pertimbangan dari pemohon ketika alasan untuk bercerai karena pasangan mendapatkan kecacatan ataupun penyakit sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai pasangan hal tersebut karena walaupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur akan tetapi tidak mencerminkan pegawai negeri memberikan teladan yang baik menurut PP No. 10 tahun 1983 dikesampingkan.
Pejabat dilarang memberikan izin bila bertentangan dengan aturan agama \yang dianut oleh pemohon, permohonan tidak mencantumkan alasan, alasan yang digunakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan alasan di luar nalar. Penerbitan surat izin tersebut selambat-lambatnya dikeluarkan 3 bulan setelah menerima permintaan izin. Sedangkan untuk alasan yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :
Bagaimanakah dengan Calon pegawai negeri sipil yang hendak melakukan cerai apakah harus menyertakan surat izin dari atasan ? walaupun status serta hak antara CPNS dengan PNS memiliki perbedaan, akan tetapi untuk permasalahan yang menyangkut administrasi kepegawaian harus diselenggarakan sesuai aturan, dimana calon pegawai negeri yang sedang dalam tahap percobaan sebelum menjadi PNS telah memiliki tanggung jawab kepada instansi maupun atasan dalam satuan kerja walaupun masih berstatus sebagai calon pengawai negeri tetap diterapkan aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, yang harus menyertakan surat izin maupun surat keterangan dari atasan apabila ingin bercerai. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok –pokok kepegawaian telah menempatkan calon pegawai negeri sipil sebagai salah satu komponen PNS dari statusnya memiliki hak dan tanggung jawab atas pembiayaan oleh Negara serta pemberkasannya telah diproses BKN/BKD sebagaimana yang berlaku kepada PNS.
Bagaimanakah dengan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) apakah berlaku aturan sebagaimana yang diterapkan kepada PNS ? bahwasanya PPPK memiliki hak tunjangan, gaji sebagaimana yang berlaku kepada PNS, sehingga dalam pertimbangan pengeluaran nominal tersebut juga mempertimbangkan status yang bersangkutan. Sehingga terdapat ikatan kelembagaan yang secara hirarki harus diikuti oleh PPPK sebagaimana yang diberlakukan kepada pengawai negeri sipil.
Pengadilan agama yang secara khusus menangani perkara perceraian antar orang islam, jika PNS yang mengajukan permohonan cerai tidak menyertakan surat izin baik karena alasan atasan enggan menerbitkan maupun yang mengajukan gugatan bersikeras tidak menyertakannya maka pengadilan menanggapi masalah tersebut dengan tidak menerima perkara karena termasuk pada syarat formil, akan tetapi pengadilan juga berkewajiban untuk memeriksa perkara tersebut walaupun akan muncul resiko-resiko hukum bagi PNS maupun putusan yang dijatuhkan oleh majelis. Solusi yang dapat diambil majelis apabila terjadi alasan-alasan di atas yang bersangkutan harus membuat surat pernyataan tidak bersedia menerbitkan surat izin untuk bercerai dari atasan dan bersedia menerima konsekuensi dari lembaga tempat penggugat bernaung.
Pegawai negeri sipil yang melakukan perceraian jika yang mengajukan merupakan PNS laki-laki maka dalam putusan perkaranya bertanggung jawab menyerahkan sebagian gaji untuk kepentingan bekas istri dan anaknya (masing-masingnya mendapatkan 1/3 bagian) jika tidak memiliki keturunan maka gaji yang diserahkan ½ dari penghasilan PNSnya, sedangkan jika istri diceraikan karena alasan zina, melakukan penganiayaan fisik ataupun psikis, pemabuk, pemadat, penjudi yang susah disembuhkan ataupun istri yang secara berturut-turut meninggalkan suaminya selama dua tahun tanpa ada alasan yang sah tidak berhak mendapatkan bagian.
Istri berhak mendapatkan bagian atas alasan gugatan cerai karena alasan tidak terima untuk dipoligami, jatah gaji yang diberikan oleh mantan suami akan gugur terhitung mulai mantan istri menikah kembali dengan laki-laki lain. Bila istri juga berstatus sebagai PNS tetap harus diberikan bagian karena suami memiliki tanggung jawab yang sama sampai istri yang diceraikan tersebut telah menikah kembali.
Perceraian yang dilakukan oleh Pegawai negeri harus dilaporkan selambat-lambatnya 1 bulan setelah dijatuhkannya putusan cerai, jika tidak dilakukan maka akan mendapatkan hukuman disiplin tingkat berat sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin pegawai negeri sipil. Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan tersebut bukan merupakan hukum acara maupun hukum materil dalam pemeriksaan perkara perkawinan, akan tetapi merupakan ketentuan yang mengatur pegawai negeri sipil untuk menegakkan disiplin maka penerapan dan pelaksanaan hal tersebut merupakan kewenangan pejabat tata usaha negara, sehingga pemeriksaan permohonan cerai talak pemohon tetap dilanjutkan.
Untuk melengkapi persyaratan surat izin dari atasan yang belum dilampirkan dalam pendaftaran perceraian, majelis hakim dapat menunda persidangan Untuk itu sidang pemeriksaan permohonan Pemohon ditunda selama 6 (enam) bulan. Akan tetapi setelah enam bulan berjalan, ternyata Pemohon belum mendapatkan Surat Izin Perceraian dimaksud, dan Pemohon tetap berteguh melanjutkan permohonan Cerai.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990 disebutkan bahwa ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS. Berkaitan dengan pertanyaan Anda, dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa Anda bisa beristri lebih dari satu, setelah mendapat izin dari Pejabat. Di samping itu, dari ketentuan ini bisa kita simpulkan pula bahwa Anda tidak boleh menikah dengan wanita yang berstatus sebagai PNS karena ini akan menjadikannya sebagai istri kedua Anda. PNS wanita dilarang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Dengan kata lain, Anda hanya bisa menikahi wanita yang tidak berstatus sebagai PNS.
Mengenai syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat, adapun yang dimaksud dengan pejabat menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) adalah:
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang ini wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan PNS yang bersangkutan. Demikian yang disebut dalamPasal 9 ayat (1) PP 45/1990. Pemberian atau penolakan pemberian izin bagi PNS untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. Hal ini disebut dalam Pasal 12 PP 45/1990. Jika Pejabat menilai bahwa alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri PNS yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Ketentuan ini disebut dalamPasal 9 ayat (2) PP 10/1983. Sebelum mengambil keputusan, pejabat tersebutpun memanggil Anda atau bersama-sama dengan istri Anda untuk diberi nasihat [lihat Pasal 9 ayat (3) PP 10/1983].
Kemudian, apa saja syarat-syarat yang wajib Anda penuhi sebagai bahan pertimbangan dari Pejabat itu? Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) PP 10/1983, izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif yang disebut dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP 10/1983. Syarat alternatif dan kumulatif tersebut adalah:
Berkaitan dengan hal ini, yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan dalam salah satu syarat alernatif di atas adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan (Penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf c PP 10/1983). Oleh karena itu, Anda perlu memastikan kembali bahwa istri Anda berdasarkan keterangan dokter tidak bisa melahirkan keturunan atau dalam usia pernikahan Anda sekurang-kurangnya 10 tahun ini istri Anda tidak menghasilkan keturunan. Selain hal-hal di atas, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar dapat berpoligami, yaitu bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Anda. Hal ini karena izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila [lihat Pasal 10 ayat (4) PP 10/1983]:
Jika dalam ajaran agama lain tidak diperbolehkan beristri lebih dari seorang, maka Anda tidak bisa mendapatkan izin dari Pejabat. Di atas kami telah menyebutkan syarat-syarat PNS untuk memperoleh izin berpoligami. Lalu apa sanksinya jika PNS yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari pejabat untuk berpoligami atau tidak melaporkan perkawinannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu padaPasal 15 PP 45/1990 yang mengatur bahwa PNS yang tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin beratberdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”).
Perlu Anda ketahui, PP 30/1980 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkanPasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”). Adapun jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010 terdiri dari:
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.