Perjanjian pranikah adalah perjanjian yang dibuat menjelang pernikahan.
Perjanjian ini dibuat atas kesepakatan calon pasangan suami atau istri untuk
memisahkan harta mereka ketika telah menikah. Dalam praktiknya, perjanjian jenis ini
masih kerap dianggap tabu. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa
perjanjian pranikah adalah sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi perceraian di
kemudian hari nanti atau bentuk ketidakpercayaan antara calon pasangan suami istri.
Padahal tujuan utamanya adalah untuk melindungi harta masing-masing dan
menjamin keberlangsungan hidup anak-anaknya nanti.
Aturan mengenai pembuatan perjanjian pranikah dimuat dalam KUHPerdata dan
UU Perkawinan. Pasal 139 KUHPerdata menerangkan bahwa para calon suami isteri
dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari peraturan undang-undang
mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang
baik, tata tertib umum, dan sejumlah ketentuan yang berlaku.
Peraturan mengenai harta bersama yang dapat dikesampingkan sebagaimana
diterangkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang meliputi dua hal. Pertama, harta bersama atau harta benda yang diperoleh
selama perkawinan. Kedua, harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
(dalam sebuah perjanjian).
Terkait kapan perjanjian pranikah dapat dibuat, ketentuan dalam UU Perkawinan
menerangkan bahwa pembuatan perjanjian pranikah dapat dilaksanakan pada waktu
pernikahan atau sebelum pernikahan dan perjanjian tersebut mulai berlaku saat
perkawinan dilangsungkan. Kemudian, penting pula untuk diketahui bahwa perjanjian
pranikah merupakan pilihan opsional atau tidak wajib dibuat jika tidak diinginkan.
Namun, tanpa ada perjanjian pranikah, sebagaimana diterangkan Pasal 146
KUHPerdata, hasil-hasil dan pendapatan istri masuk dalam penguasaan suaminya.
Apa saja isi perjanjian pranikah? Isi perjanjian pranikah diserahkan kepada masing-
masing pihak asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan
serta dapat memuat banyak hal. Yaitu dapat berupa pemisahan harta, pemisahan
utang, hak asuh anak terjadi perceraian, hak dan kewajiban selama pernikahan, dan
segala kesepakatan bersama yang perlu dituliskan. Terkait pembuatan isi perjanjian
pranikah, ada empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatannya, antara
lain:
1. Keterbukaan
Kedua belah pihak harus terbuka dalam mengungkapkan semua detail kondisi
keuangan, baik sebelum menikah hingga setelah menikah kelak. Keterbukaan
yang dimaksud adalah berapa jumlah harta bawaan masing-masing dan potensi
harta mengalami pertambahan saat bersama. Tidak luput juga soal utang
bawaan masing-masing. Terkait utang, penting untuk dibahas siapa yang kelak
akan bertanggung jawab menanggung utang tersebut. Keterbukaan
dimaksudkan agar kelak tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
2. Kerelaan
Dalam penulisan isi dan segala hal menyangkut perjanjian pranikah, kedua pihak
haruslah saling rela menyetujui isinya dan mau menandatanganinya tanpa
paksaan. Apabila dibuat dengan paksaan, perjanjian ini dapat terancam batal.
3. Bantuan pihak objektif
Mintalah bantuan pada pihak berwenang dengan reputasi yang baik dan bisa
menjaga objektivitas perjanjian yang dibuat sehingga isinya dibuat adil bagi
kedua belah pihak.
4. Dibuat oleh notaris
Perjanjian pranikah sebaiknya tidak dibuat tangan semata, namun disahkan di
notaris. Setelah jadi, perjanjian harus dicatatkan atau disahkan pula oleh
pegawai KUA dan catatan sipil.
Meski isi perjanjian pranikah tidak diatur secara spesifik, KUHPerdata mengatur
sejumlah hal yang dilarang dalam sebuah perjanjian pranikah. Adapun hal-hal atau
ketentuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 139 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa para calon suami istri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang
dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak
bertentangan dengan tata susila yang baik, tata tertib umum, dan sejumlah
ketentuan yang berlaku.
2. Tidak boleh mengurangi hak suami
Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 140 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hak-hak suami, baik
sebagai suami, sebagai ayah, sebagai kepala rumah tangga, dan hak-hak lain
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
3. Tidak boleh mengatur warisan
Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 141 KUHPerdata bahwa para calon
suami istri dalam perjanjian tersebut tidak boleh melepaskan hak atas warisan
keturunan mereka pun tidak boleh mengatur warisan itu.
4. Tidak boleh berat sebelah dalam hal utang
Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 142 KUHPerdata bahwa mereka (para
calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian yang membuat salah satu
pihak mempunyai kewajiban utang lebih besar daripada bagiannya dalam
keuntungan-keuntungan harta bersama.
5. Tidak boleh menggunakan hukum “asing” sebagai dasar hukum
perkawinan
Hal ini sebagaimana diterangkan Pasal 143 KUHPerdata bahwa mereka (para
calon suami istri) tidak boleh membuat perjanjian dengan kata-kata sepintas,
bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang, kitab
undang-undang luar negeri; atau oleh beberapa adat kebiasaan, undang-
undang, kitab undang-undang atau peraturan daerah, yang pernah berlaku di
Indonesia.
Dasar Hukum:
1. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;
3. Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;
4. Pasal 141 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;
5. Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;
6. Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;
7. Pasal 146 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Staatsblad Nomor 23
Tahun 1847 tentang Bulgerlijk Wetboek Voor Indonesie;