img-logo img-logo
Detail Artikel
Eksistensi Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan  dalam Perkara Kumulatif Itsbat Cerai
Tanggal Rilis Artikel : 24 November 2022, Pukul 18:28 WIB, Dilihat 21 Kali
Penulis : Azalia Purbayanti Sabana, S.H., M.H.
Eksistensi Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan dalam Perkara Kumulatif Itsbat Cerai

Eksistensi Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan dalam Perkara Kumulatif Itsbat Cerai

Oleh : Azalia Purbayanti Sabana, S.H,. M.H

CPNS Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Jember

Pernikahan atau perkawinan, adalah suatu perbuatan hukum yang diatur oleh negara. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan adalah suatu akad  yang  sangat  kuat  atau  Mitsaqon ghalidzan, suatu ibadah untuk menaati perintah Allah S.W.T dengan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah sebagai sebuah keluarga.[1]

Pernikahan dapat dikatakan suatu perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan negara, seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : [2]

  1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
  2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika ditelaah, kedua unsur dalam pasal tersebut berfungsi secara kumulatif bukan alternatif. Artinya, suatu pernikahan selain harus memenuhi syariat agama juga harus tercatat dalam dokumen negara di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mendapatkan buku nikah. Pernikahan yang memenuhi unsur tata cara agama dan Negara disebut legal wedding, sementara pernikahan yang belum memenuhi unsur pencatatan negara disebut illegal wedding.

Pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan negara atau yang sering kita sebut sebagai pernikahan siri dan pernikahan dibawah tangan memang sah secara agama, namun pernikahan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berpotensi menimbulkan permasalahan seperti ketidakjelasan status anak, waris, dan nafkah.[3]

 Jika ditinjau dari segi formalitas, pemaknaan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut mengharuskan setiap warga negara yang akan menikah untuk mencatatkan pernikahannya secara resmi kepada negara guna melindungi hak dan kewajiban mereka di hadapan hukum. Hal ini merupakan upaya Negara dalam memberikan perlindungan hukum sebagai bentuk preventif dalam meminimalisir potensi masalah hukum yang akan terjadi dan merugikan salah satu pihak di kemudian hari.

Seperti halnya dengan pernikahan, perceraian juga harus diresmikan secara sah menurut negara.  Realita yang terjadi, banyak perempuan yang ingin menceraikan suaminya secara sah guna membela kepentingan hak anak seperti catatan administrasi akta anak. Namun perkawinannya dulu belum tercatat secara resmi oleh negara dan belum mendapatkan buku nikah. Selain masalah pencatatan akta anak, potensi masalah lain yang timbul akibat dari illegal wedding yaitu anak tidak mendapatkan haknya dan tidak dijaminnya perlindungan hukum dalam masalah waris serta nafkah karena pernikahan orangtuanya tidak diakui oleh negara.[5]

Hal ini menjadi masalah yang cukup dilematis ketika seorang isteri ingin bercerai dengan suaminya dan di sisi lain ia ingin membela hak-hak anaknya, namun pernikahannya belum mendapat pengakuan resmi dari negara. Satu-satunya solusi yang dapat menjawab masalah tersebut adalah dengan melakukan Permohonan itsbat cerai  ke Pengadilan Agama. Permohonan itsbat cerai merupakan gabungan perkara antara permohonan itsbat nikah dengan gugatan cerai.

 Itsbat cerai merupakan kumulasi perkara atau samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum kedalam satu gugatan, atau beberapa gugatan yang digabungkan menjadi satu. Dalam perkara Kumulatif Itsbat cerai, terdapat unsur penggabungan antara perkara voluntair yakni itsbat nikah dan perkara kontentius yaitu gugatan perceraian. 

Itsbat  nikah adalah tindakan hukum yang diajukan ke Pengadilan Agama guna meresmikan pernikahan yang telah dilangsungkan, namun tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, hilangnya akta nikah, adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 serta adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.  Itsbat nikah ini merupakan permohonan pengesahan secara formil yang bersifat prosedural dan administratif.

Sedangkan gugatan cerai adalah suatu langkah hukum yang dilakukan oleh seorang isteri guna memutus perkawinannya. Islam memberikan hak kepada perempuan untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya seperti yang dijelaskan dalam  pasal 132 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:  

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan  Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.”[8]

Pasal tersebut senafas dengan bunyi pasal 73 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 j.o Undang-undang Nomor 3 tahun 2006  j.o Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang mengatur mengenai gugatan cerai isteri kepada suami. Adapun alasan gugatan cerai diatur secara limitatif dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam diantaranya karena suami berbuat zina, berjudi, murtad, meninggalkan tanpa kabar dalam waktu lama, adanya kekerasan dalam rumah tangga, tidak bertanggungjawab menafkahi, terjadi perselisihan yang terus menerus hingga menyebabkan ketidakharmonisan rumahtangga dan penderitaan lahir batin seorang isteri.[9]

Landasan hukum yang mengatur mengenai Isbat Cerai ini diatur dalam Pasal 7 (ayat 3) huruf (a) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang itsbat nikah dengan perceraian. Satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang kebolehan menggabungkan beberapa perkara perdata hanya terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) undang-undang tersebut membolehkan kumulasi yang tidak dibolehkan di peradilan umum. Kumulasi gugatan yang dimaksud adalah kumulasi Isbat Cerai antara perkara gugat cerai dan itsbat nikah.[10]

Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah, dan diperiksa serta diputuskan dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah. Akan tetapi dalam hal dan batas-batas tertentu dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan. 

Dalam hukum acara perdata yang secara umum berlaku baik dalam HIR, R.Bg, atau Rv tidak mengatur secara tegas dan tidak pula melarang penggabungan gugatan perkara, namun dalam prakteknya kumulasi perkara ini diatur oleh Yurisprudensi.[11] 

Menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 677.K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972 yang pada pokoknya menyatakan bahwa menurut Yurisprudensi, memungkinkan adanya kumulasi gugatan obyektif asalkan terdapat hubungan yang erat atau konektivitas. Dalam proses penyelesaian perkara yang dikumulasikan, harus memiliki konektivitas antara perkara yang satu dengan perkara yang ingin diajukan bersamaan dalam satu gugatan ataupun permohonan.[12] 

Yurispudensi lain yang mengatur tentang kumulasi gugatan yaitu Putusan MA-RI No. 880.K/Sip/1973, tanggal 6 Mei 1975 mengatur tentang pemeriksaan perkara penggabungan gugatan sebagai berikut: bahwa oleh Hakim pertama ketiga buah gugatan tersebut digabungkan menjadi satu perkara dan diputuskan dalam satu putusan tertanggal 24 Januari 1969 No. 10/1968/Mkl. Ketiga gugatan itu ada hubungan satu dengan lainnya, sehingga meskipun menggabungkan gugatan-gugatan itu tidak diatur dalam RBg (juga HIR) akan tetapi karena penggabungan itu akan memudahkan proses dan menghindarkan kemungkinan putusan putusan yang saling bertentangan, maka penggabungan itu memang ditinjau dari segi acara (processuel doelmatig).

Pada prinsipnya itsbat nikah dalam rangka perceraian dapat dibenarkan, kecuali pernikahan yang akan diis’batkan tersebut nyata-nyata melanggar undang-undang.Perkara itsbat nikah dikumulasikan dengan perkara cerai gugat, yang mana dalam duduk perkaranya penggugat dan tergugat selama menjalankan kehidupan perkawinannya tidak pernah mendapat buku nikah, sementara dikemudian hari penggugat bermaksud ingin berpisah atau bercerai. Oleh karena itu antara kedua kasus tersebut mempunyai hubungan yang erat atau konektivitas dan terdapat sebuah hubungan hukum antara keduanya sehingga dilakukanlah kumulasi gugatan yakni menggabungkan perkara isbat nikah dan perkara perceraian diwaktu yang bersamaan.

Tujuan diterapkannya kumulasi gugatan ini adalah untuk menyederhanakan proses persidangan. Manfaat yang lain, melalui sistem penggabungan dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. Oleh karena itu, apabila terdapat koneksitas antara beberapa gugatan, cara yang efektif untuk menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan, dengan jalan menempuh sistem kumulasi atau penggabungan gugatan.

Melalui sistem penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebaliknya, jika masing-masing digugat secara terpisah dan berdiri sendiri, terpaksa ditempuh proses penyelesaian terhadap masing- masing perkara sehingga penerapan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tidak ditegakkan.

Demi terjalinnya peradilan yang menegakkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, Perkara kumulatif itsbat cerai ini berpotensi  mengurangi penumpukan perkara serta dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian perkara yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan dalam proses beracara di pengadilan. Penggabungan gugatan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian perkara.

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 4 ayat (2) menyatakan, bahwa peradilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan[13]

Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 memberikan makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pada pasal 57 ayat 3, dapat dijumpai pada penjelasan umum angka 5 alinea ke 5 yang berbunyi: 

Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, antara lain sidang terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan dan ketentuan-ketentuan lain, dalam undang-undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali”.

Mengacu pada hal tersebut, diketahui bahwa pada dasarnya asas sederhana, cepat dan biaya ringan di pengadilan merupakan satu kesatuan asas yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. 

Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan merupakan asas yang secara tegas diatur dalam Undang-undang dan mewajibkan hakim untuk memeriksa perkara dengan harapan memenuhi rasa keadilan justiabel dalam mendapatkan putusan. Upaya mewujudkan asas ini merupakan kewajiban pengadilan (termasuk hakim) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi segala kendala demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. 

Asas Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan diharapkan mampu menjawab kebutuhan pencari keadilan yang lemah secara ekonomi. Asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, mengandung makna peradilan harus membuka ruang lebar bagi acces to justice terutama bagi yang lemah secara ekonomi dan rentan secara sosial politik. Untuk itu, pengadilan dituntut untuk membantu pencari keadilan mendapat perlakuan yang adil.[14]

Artikel selengkapnya :  https://new.pa-jember.go.id/Eksistensi-Asas-Peradilan-Sederhana