Perubahan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan meningkatkan batas minimal usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah melewati perjalanan yang begitu panjang sampai akhirnya disahkan. Judicial review pertama yang diajukan pada tahun 2015 terkait pasal tersebut ditolak oleh MK. Saat itu permohonan uji materi yang diajukan adalah peningkatan usia minimal pernikahan bagi perempuan adalah 18 tahun dari 16. Akan tetapi pada bulan Juni 2015 Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan tersebut dengan alasan open legal policy. Tidak menyerah di sana, judicial review kedua atas pasal tersebut kembali diajukan pada tanggal 20 April 2017 dengan menambahkan materi yang diujikan yang kemudian akhirnya diperoses dengan berbagai upaya agar dapat dirampungkan sebelum pergantian anggota DPR. Sebelumnya, dinyatakan bahwa revisi terkait pasal tersebut baru dapat disahkan dalam kurun waktu tiga tahun, namun atas desakan dari beberapa pihak, akhirnya revisi tersebut disahkan pada 15 Oktober 2019. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 memberikan dasar dalam pertimbangan mengabulkan dispensasi kawin melalui beberapa indikator, yakni moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan. Indikator ini merupakan amanat substansial yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh sebelum memberikan izin untuk menikahkan anak dibawah umur. Bagaimana kondisi kelanjutan hak-hak konstitusional warga negara milik anak-anak ini setelah menikah nanti, apakah mereka akan tetap bisa mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik mereka, dan sebagainya. Sebagaimana yang menjadi salah satu dasar ditetapkannya angka 19 dan menyamakan minimal usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22IPUU-XV/2017.

Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi." Dalam pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD L945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga.
Hal yang mendorong diubahnya UU Perkawinan tersebut karena Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa Indonesia telah berada pada fase darurat pernikahan anak. Data penelitian UNICEF tahun 2016 menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-7 dari Negara di dunia yang memiliki tingkat perkawinan dini tertinggi dan peringkat ke-2 se-ASEAN setelah Kamboja. Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang membawa ekspektasi tinggi untuk mengurangi angka perkawinan dini, namun fakta lapangan justru menunjukkan bahwa instansi pengadilan justru kebanjiran permohonan dispensasi kawin sebagaimana yang sempat disinggung di latar belakang makalah ini. Hal ini menunjukkan bahwa revisi undang-undang mengenai batas minimal usia perkawinan yang ada ternyata tidak sebanding dengan kesadaran hukum masyarakat.
Soerjono Soekanto dalam teori efektifitas hukumnya mengemukakan bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum setidaknya terdiri dari empat indikator, yakni hukum atau norma hukum, sarana dan fasilitas, kemudian masyarakat.23 Penegakan hukum dipengaruhi oleh keselarasan empat indikator tersebut agar berjalan efektif sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah memberikan kepastian hukum mengenai batas usia perkawinan yang diizinkan. Bersamaan dengan Perma Nomor 5 tahun 2019 tentang pedoman mengadili perkara dispensasi kawin pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, norma dan substansi untuk menjaga hak anak dibawah umur telah dihandel dengan cukup baik. Meski belum bisa mewujudkan tindakan disiplin untuk menekan legalitas perkawinan anak sebagai mana yang telah disinggung sebelumnya, undang-undang ini setidaknya cukup mengelola kepentingan-kepentingan yang sebelumnya tidak diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, seperti mengenai hak mengajukan permohonan hanya oleh orang tua atau wali, tinjauan pertimbangan penetapan, persyaratan pengajuan, dan lain sebagainya. Untuk itu, indikator pertama mengenai hukum dan normanya setidaknya dapat dikatakan terpenuhi.
Indikator kedua yakni penegak hukum yang dalam kaitannya dengan perkara dispensasi kawin adalah lembaga peradilan dan para Hakim selaku pemilik wewenang untuk memeriksa perkara dan memberikan penetapan. Hakim pemeriksa perkara dispensasi kawin sejauh ini dapat dikatakan kooperatif dan berhati-hati dalam memberikan izin dispensasi mengingat tidak semua perkara yang diterima serta merta dikabulkan permohonannya. ada perkara yang ditolak dan tidak diterima, ada juga yang berhasil dicabut. Bahkan beberapa kantor pengadilan menambahkan persyaratan lain diluar yang telah ditetapkan oleh undang-undang sebagai upaya menekan jumlah pengajuan permohonan di wilayah yurisdiksinya. Persyaratan-persyaratan tambahan ini dapat digunakan sebagai instrumen pemeriksaan mengikuti poin-poin yang tercantum dalam Pasal 12 ayat 2 Perma Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Syarat tambahan ini sebenarnya berhubungan erat dengan indikator ketiga, yakni mengenai sarana dan fasilitas. Adapun faktor sarana dan fasilitas dalam rangka menekan angka perkawinan di bawah umur masih kurang. Dalam hal ini berupa program penyuluhan, seminar, pengarahan terhadap bahaya perkawinan di bawah umur, dan lain sebagainya yang relevan dengan poin-poin pada Pasal 12 ayat 2 Perma Nomor 5 Tahun 2019. Program-program tersebut masih minim dilakukan, baik di lingkup masyarakat maupun sekolah-sekolah. Hal ini penting untuk diadakan secara massif supaya membangun kesadaran para remaja dan orang tua terhadap resiko perkawinan di bawah umur sehingga diharapkan dapat memperkecil angka permohonan dispensasi kawin.
Pengadilan Agama Bangil sendiri telah melakukan MoU dengan Dinas Kesehatan setempat untuk pemeriksaan kesehatan dan konseling untuk anakanak dan pasangannya yang dimintakan izin dispensasi sebelum menjalani persidangan dan nantinya hasil pemeriksaan tersebut akan digunakan sebagai persyaratan dan alat bukti untuk pertimbangan Hakim dalam memberikan penetapan. Selain itu, Pengadilan Agama Bangil juga akan meminta slip gaji atau keterangan penghasilan dari pihak laki-laki untuk memastikan adanya pemasukan tetap sebagai bahan pertimbangan penetapan.
Tindakan ini merupakan salah satu upaya Pengadilan Agama Bangil untuk mematuhi Perma Nomor 5 Tahun 2019 secara tertib. Semoga di kemudian hari upaya ini dapat terus berlanjut dan berkembang pada aspekaspek lain yang menjadi pertimbangan sesuai dengan amanat undang-undang. Misalnya dengan mengadakan MoU bersama Departemen Pendidikan setempat untuk menjamin keberlangsungan pendidikan anak yang masih dibawah umur ini atau MoU bersama Kementrian Agama setempat yang menaungi KUA untuk membuat program wajib lapor kepada BP4 (Bapan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) dalam kurun waktu tertentu pasca akad nikah untuk menekan potensi terjadinya perselisihan dan KDRT.
Indikator yang terakhir yakni masyarakat. Dalam hal tingginya angka permohonan dispensasi kawin yang utamanya dipengaruhi oleh kondisi masyarat, faktor-faktor penyebab perkawinan anak terjadi yang telah dibahas sebelumnya adalah akar dari kondisi masyarakat saat ini. Selama masyarakat masih belum selesai dengan masalah-masalah tersebut, rasanya akan sangat sulit menekan fenomena perkawinan anak. Untuk menyelesaikan akar masalah tersebut, selain dibutuhkan optimalisasi indikator ketiga alias sarana dan fasilitas dalam efektivitas hukum yang terkonsentrasi pada wilayah yurisdiksi yang lebih kecil dari pengadilan tingkat pertama, pengaturan terpusat dari masing-masing instansi pada bidang terkait juga sangat dibutuhkan. Campur tangan dan kerjasama banyak pihak sangat dibutuhkan di sini, sebab masalah perkawinan anak adalah PR yang tidak mungkin diselesaikan oleh satu kewenangan saja.