Fenomena perkawinan pasangan beda agama di Indonesia terus menjadi polemik. Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 26 April 2022 lalu mengabulkan permohonan pengesahan perkawinan beda agama dengan nomor perkara 916/Pdt.P/2022/PNSby. Terbaru, Pengadilan Negeri Tangerang juga mengabulkan pengesahan perkawinan beda agama. Dalam rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Hal ini berarti bahwa pernikahan beda agama bertentangan dengan konstitusi dimana pembatasan hak asasi manusia (HAM) dalam perspektif konstitusi tidak bermakna liberal, namun dibatasi dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”. Lebih lanjut dalam ayat (2) menyebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan, dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan secara eksplisit mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Selain bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, perkawinan beda agama juga bertentangan dengan ajaran islam.
Al-Qur’an melarang pernikahan dengan pihak yang berbeda agama yaitu dalam Surah Al-Baqarah ayat 221, yang artinya:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.”
Serta dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 10, yang artinya:
“Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.”
Musyawarah Nasional MUI VII yang digelar pada bulan Juli tahun 2005 telah menerbitkan Fatwa Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Fatwa tersebut menetapkan perkawinan beda agama hukumnya adalah haram dan tidak sah. Dalam pertimbangannya, MUI menilai pernikahan beda agama yang banyak terjadi belakangan ini, hingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Dalam Pasal 40 KHI secara tegas menyebutkan, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Serta Pasal 44 KHI yang menyebutkan, “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.” Atas dasar-dasar tersebut diatas maka perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan lantaran melanggar hukum negara dan hukum agama.
Putusan pengadilan yang mengesahkan permohonan perkawinan beda agama dengan dalih HAM adalah menyalahi konstitusi, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan ajaran islam utamanya dalam Pasal 2 dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan yang secara tegas mensyaratkan sebuah perkawinan dianggap sah dengan yang seagama.
Dasar Hukum: