PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai prevalensi perkawinan anak tertinggi di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Di Indonesia, 25% dari perempuan usia 20-24 tahun menikah pada usia sebelum 18 tahun. Bahkan di beberapa provinsi angka itu bisa mencapai angka 30%. Ini berdasarkan data dari BPS- Susenas tahun 2008-2012. Sedangkan data pada tahun 2017 yang bersumber juga dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa prevalensi tersebut untuk Indonesia mencapai 25,71%, dengan angka tertinggi untuk provinsi Kalimantan Selatan 39,53% dan terendah provinsi Yogyakarta 11,07%. Sementara untuk Jakarta sebagai ibukota negara, angka itu “hanya” 12,76%, kedua terendah setelah Yogyakarta.
Keadaan tingginya angka perkawinan anak mendorong pemerintah dan masyarakat yang peduli untuk melakukan upaya-upaya pencegahannya, antara lain dengan mencari penyebab dan solusinya. Dari kajian lembaga pemerintah dan masyarakat dan ini sudah sangat umum diketahui, penyebab tingginya angka perkawinan anak ini sangatlah kompleks, seperti karena rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, budaya serta pemahaman terhadap ajaran agama. Ada yang menarik dari tingginya angka perkawinan anak di Indonesia itu, yaitu tentang pengertian perkawinan anak, batas minimal usia yang membolehkan dilakukan perkawinan serta peran dari lembaga-lembaga yang terkait dengan pencatatan, pengawasan dan pemberian dispensasi dari pelaksanaan perkawinan.
Di Indonesia, lembaga untuk melakukan pencatatan dan pengawasan pelaksanaan perkawinan bagi yang beragama Islam adalah Kantor Urusan Agama (KUA)yang berada di bawah Kementerian Agama, sementara bagi pemeluk agama selain Islam adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan lembaga untuk memberikan dispensasi kawin untuk pemeluk agama Islam adalah Pengadilan Agama (PA).
Dalam makalah sederhana ini penulis akan membatasi pembahasan kepada perkawinan anak yang beragama Islam, sehingga lembaga yang terkait secara langsung adalah KUA dan Pengadilan Agama. Namun demikian Dukcapil pun sangat penting sebab secara tidak langsung sangat terkait dengan proses perkawinan orang Islam yaitu dalam penyiapan Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga dan dokumen administrasi kependudukan lainnya. Pembatasan pembahasan ini penulis lakukan mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam.
PERKAWINAN ANAK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, perubahan atas Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 Ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) dapat meminta dispensasi kepada pengadilan yang dalam hal ini Pengadilan Agama bagi orang-orang yang beragama Islam.
Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No.5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Peraturan Mahkamah Agung RI tersebut menjadi acuan atau pedoman bagi Semua Hakim Pengadilan Agama untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan dispensasi kawin. Dalam Pasal 5 diatur mengenai syarat administrasi dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin, yaitu :
Adapun pihak yang dapat mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah :
Dalam memeriksa perkara permohonan dispensasi kawin, Hakim wajib memberikan nasehat yang isinya sbb :
Jika nasehat tersebut tidak disampaikan, maka penetapan hakim batal demi hukum.
Yang harus dipertimbangkan hakim dalam mengabulkan perkara permohonan dispensasi kawin adalah :
PERAN PENGADILAN AGAMA
Pengadilan Agama (PA) mempunyai peran yang signifikan dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia. Ia mempunyai kewenangan untuk menentukan boleh tidaknya seorang anak perempuan dan laki-laki di bawah 16 tahun untuk melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya secara hukum. Pengadilan Agama dapat dikatakan sebagai terminal akhir dalam proses perkawinan anak. Seorang anak yang ditolak KUA untuk melangsungkan perkawinannya karena faktor umur masih dapat mengajukan dispensasi perkawinan ke Pengadilan Agama. Namun jika Pengadilan Agama juga menolak permohonan dispensasi itu, maka anak tersebut tidak boleh melangsungkan perkawinan dan mencatatkannya secara hukum.
Jika anak yang telah ditolak dispensasi kawinnya oleh Pengadilan Agama tetap saja melangsungkan perkawinan secara agama, maka perkawinan itu tidak dapat dicatatkan di KUA sebab tidak dilaksanakan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku biasa disebut sebagai perkawinan “di bawah tangan”, yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Berikut adalah beberapa catatan tentang peran Pengadilan Agama:
A. Pengadilan Agama menentukan boleh tidaknya seorang anak untuk melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya secara hukum.
Jumlah dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan Agama se Indonesia dari tahun ke tahun secara umum meningkat terus. Di Pengadilan Agama Nganjuk jumlah perkara permohonan dispensasi kawin untuk tahun 2022 sebesar 265 perkara. Untuk tahun 2023 sampai akhir bulan Oktober tercata sejumlah 225 perkara. Dari jumlah tersebut, yang ditolak oleh Pengadilan Agama Nganjuk sebesar 1 %.
Tingginya angka permohonan yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama, mengingat Pengadilan Agama adalah terminal akhir dalam proses perkawinan anak. Jauh sebelum permohonan dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan Agama, boleh jadi keinginan untuk melangsungkan perkawinan anak ini telah mendapat berbagai penasihatan/masukan dari keluarga besar atau dari aparat RT, RW, Kelurahan, dan tokoh agama. Jadi, permohonan yang sampai ke Pengadilan Agama itu diajukan oleh orang tua yang betul-betul sudah sangat menginginkan adanya perkawinan anaknya dan telah melalui proses panjang. Apalagi jika hubungan di antara anak laki-laki dengan anak perempuan -calon pengantin- itu sudah demikian dekat, atau bahkan anak perempuannya sudah hamil.
Lain dari itu, ada hal yang menarik dari pembicaraan informal dan formal bersama para hakim, yaitu “memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak”, sebagaimana disebutkan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak, diterjemahkan pula sebagai “demi kemaslahatan anak”. Dalam putusan-putusan pengadilan sering kali dikutip kaidah-kaidah fiqhiyah seperti “Mengantisipasi dampak negatif harus diprioritaskan dari pada mengejar kemaslahatan”, “Mencegah yang membahayakan lebih diprioritaskan daripada meraih keuntungan”, “Apabila dua mafsadat bertentangan, maka yang harus diperhatikan mana yang lebih besar mafsadatnya, dengan memilih yang lebih ringan mafsadatnya”, dan lain-lainnya21.
Nampaknya yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah terhindarnya anak dari perbuatan melanggar hukum-hukum agama, seperti hubungan yang terlalu dekat, bermesra-mesraan, atau bahkan perzinaan. Jadi, jika anak itu dikawinkan akan lebih maslahah.
Sedangkan yang dimaksud dengan dua mafsadat di sini, boleh jadi adalah (1) mafasadat kekhawatiran pasangan anak perempuan dan laki-laki ini melakukan perbuatan zina, dan (2) mafsadat berbagai masalah sebagai akibat perkawinan anak. Jika mafsadat nomor (1) dianggap lebih besar dari mafsadat nomor (2), maka konsekwensinya permohonan dispensasi kawin akan dikabulkan. Namun jika sebaliknya, maka permohonan dispensasi ditolak. Lalu pertanyaannya, hakim menganggap mafsadat manakah yang lebih besar, nomor (1) atau nomor (2). Peran Pengadilan Agama dalam pencegahan perkawinan anak di antaranya ditentukan oleh jawaban hakim tersebut.
Hal lain yang terkait dengan dikabul dan ditolaknya dispensasi kawin adalah pelaksanaan ketentuan yang terdapat pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 Ayat (1). Ketentuan itu berbunyi bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pemeriksaan hakim tentang persetujuan kedua calon ini sangat terkait dengan pencegahan perkawinan anak.
Keinginan atau persetujuan yang sebenarnya dari anak merupakan hal yang sangat vital untuk diungkap, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak. Hakim dapat berupaya sekeras mungkin agar keinginan yang sebenarnya dari anak termasuk anak yang berkebutuhan khusus, anak dengan disabilitas terungkap dan didengar oleh pemohon dispensasi dan hakim.
B. Pengadilan Agama juga berperan dalam menjaring seberapa banyak anak-anak yang akan melangsungkan perkawinan diajukan permohonan dispensasinya ke Pengadilan Agama.
Perkawinan anak yang tidak diajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama adalah perkawinan yang tidak bisa dicatatkan, yang tidak mempunyai kekuatan hukum dan sangat rentan terutama bagi pihak isteri untuk kehilangan hak-haknya.
P E N U T U P
KESIMPULAN.