PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO SEBAGAI SUBYEK HUKUM DARI KEBIJAKAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Novia Aditia Ningsih
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga tinggi negara pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan badan peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi memiliki tugas dan wewenang, ssebai berikut[1];
Dari tugas dan wewenang diatas dijelaskan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia menjalankan fungsi lainnya, yaitu fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat dan fungsi administratif. Pada kesempatan kali ini penulis akan berfokus pada fungsi mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia.[2] Fungsi mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan unifikasi untuk mengisi kekosongan hukum untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Fungsi mengatur ini sendiri merujuk adanya kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dasar dari fungsi mengatur Mahkamah Agung Republik Indonesia ini terdapat dalam konstisusi Negara Republik Indonesia. Adapun beberapa kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu, Peraturam Mahkamah Agung atau bisa disingkat dengan (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung atau biasa disingkat dengan (SEMA), Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau biasa disingkat (SK KMA), dan Maklumat Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum acara pada badan peradilan yang bersifat mengatur kedalam dan keluar. Sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung adalah naskah dinas yang bersifat mengatur mengenai hal-hal teretntu yang dianggap penting dan mendesak untuk dilaksanakan. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah naskah dinas yang bersifat menetapkan dan merupakan pelaksanaan dari suatu ketentuan peraturan atau kebijakan.
Adapun beberapa produk kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia seperti Peraturan Mahkamah Agung Republik Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik, serta Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat. Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai kesinambungan 3 arah kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Rumusan Masalah
Tujuan Penusilan
PEMBAHASAN
Kedudukan PERMA Nomor 7 Tahun 2022, SK KMA Nomor 363/KMA?SK/XII/2022, dan SEMA Nomor 1 Tahun 2023 dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
Hierarki peraturan perundang-undangan menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan Lembaga Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk menetapkan suatu peraturan, seperti yang telah di jelaskan pada Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahkan sebelumnya sudah dijelaskan pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan[3]. Menurut SK KMA Nomor 57/KMA/SK/IV/2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung sendiri hadir untuk mengisi kekosongan hukum acara dan bersifat mengikat secara internal bagi Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya. Menurut Jimly Asshiddiqie Peraturan Mahkamah Agung merupakan peraturan yang bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derigat legi generalis[4]. Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) dalam hierarki peraturan perundang-undangan berada dibawah Undang-Undang, namun tidak dapat dikatakan sejajar dengan peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dibawah Undang-Undang.[5] Jadi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik memiliki kedudukan dan kekuatan yang mengikat secara internal yaitu bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya, serta mengikat secara eksternal yaitu bagi pengguna atau pihak yang beracara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya.
Menurut SK KMA Nomor 131/KMA/SK/VII/2023 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya menjelaskan bahwa Surat Keputusan adalah naskah dinas yang bersifat menetapkan, dan merupakan pelaksanaan dari suatu ketentuan atau kebijakan. Menurut H.D. van Wijk/ Wiliiem Konijnenbelt Keputusan bersifat konkret dan individuak (tidak ditujukan untuk umum) biasa dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya. SK KMA mempunyai akibat hukum adalah munculnya hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu[6]. Jadi SK KMA Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik memiliki kedudukan dan kekuatan hukum yang mengikat kedalam yakni mengikat bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya.
Sedangkan menurut SK KMA Nomor 131/KMA/SK/VII/2023 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) adalah naskah dinas yang bersifat mengatur mengenai hal-hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak untuk dilaksanakan biasanya bertujuan menyeragamkan. SEMA tergolong dalam peraturan kebijakan yang berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak dapat mengubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan[7]. Jadi Surat Edara Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat memiliki kedudukan dan kekuatan yang mengatur dalam hal menyeragamkan pelaksaan suatu kegiatan bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Badan Peradilan dibawahnya.
Penerapan PERMA Nomor 7 Tahun 2022, SK KMA Nomor 363/KMA?SK/XII/2022, dan SEMA Nomor 1 Tahun 2023 pada Pengadilan Agama Bojonegoro.
Pengadilan Agama Bojonegoro adalah Badan Peadilan dibawah Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam hal ini memiliki tugas menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama islam yang diajukan sesuai dengan kompetensi yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan[8]. Pengadilan Agama Bojonegoro sebagai peradilan dibawah Mahkamah Agung sudah pasti merupakan subyek hukum dari kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sebagai subyek hukum kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Agama Bojonegoro telah menerapkan Peraturan Mahkaham Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik, serta Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat.
Penerapan 3 kebijakan Mahkamah Agung diatas merupakan penerapan asas sederhana cepat dan biaya ringan, serta untuk mewujudkan peradilan yang modern dengan digitalisasi menggunakan teknologi informasi. Namun dalam hal ini masih terdapat beberapa kendala dalam pemanggilan dengan surat tercatat. Bagi pihak Tergugat yang tidak memiliki domisili elektronik maka pemanggilan dilakukan dengan surat tercatat, namun domisili Tergugat terkadang masih menjadi satu alamat dengan Penggugat, belum lagi terkadang domisili Tergugat yang ditunjuk oleh Penggugat terkadang salah, atau Tergugat sudah tidak tinggal pada domisili tersebut. Sehingga hasil dari pemanggilan surat tercatat tersebut adalah gagal atau di return ke Pengadilan Agama Bojonnegoro.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga negara memiliki wewenang dan fungsi mengatur Badan Peradilan dibawahnya dengan mengeluarkan kebijakan. Dalam hal ini bisa ditarik Kesimpulan bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik merupakan peraturan yang bersifat mengatur tentang hukum acara yang belum pernah diatur oleh Undang-Undang. Kemudian Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik merupakan penetapan untuk melaksanakan kegiatan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat merupakan naskah dinas yang mengatur dalam hal menyeragamkan kegiatan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Sudah diterapkan oleh Pengadilan Agama Bojonegoro yang dalam notabenya merupakan salah satu subyek hukum kebijakan Mahkamah Agung, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala.
DAFTAR PUSTAKA
Modul
Balai Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.Modul Peserta PPCH Materi 06 – Mahkamah Agung Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman.Bogor.2024
Buku
Asshiddiqie Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme.Jakarta.Sinar Grafika, 2011.
HR Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta.Rajawali Press.2011.
Website
Hukum Online : https://www.hukumonline.com/klinik/a/kekuatan-hukum-produk-hukum-ma--perma-sema--fatwa--dan-sk-kma-cl6102/
Pengadilan Agama Bojonegoro : https://www.pa-bojonegoro.go.id/pages/tugas-pokok-dan-fungsi-pengadilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia. Modul Peserta PPCH Terpadu Peradilan Agama Materi 06 – Mahkamah Agung Sebagai Pelaku Kekuasaan Kehakiman. Hal 3-7.
Ibid. Hal. 14.
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 288
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 155
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 175
[8] https://www.pa-bojonegoro.go.id/pages/tugas-pokok-dan-fungsi-pengadilan