Dalam UUD 1945 Bab IX pasal 24 ayat (2) tentang Kekuasaan Kehakiman hasil amandemen ketiga yang disahkan MPR pada 9 November 2001 disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”.[1]
Salah satu isu penting untuk menuju masa depan pembangunan hukum termasuk penegakan hukum di Indonesia adalah bagaimana melaksanakan kekuasaan kehakiman sesuai dengan tujuan UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mewujudkan penegakan hukum di bidang kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kerangka negara hukum dan demokrasi.[2]
Pasal 24 ayat (2) sebagai landasan yang kuat untuk membawa 4 lingkungan peradilan pada sistem satu atap (one roof system) di bawah naungan Mahkamah Agung. Dengan demikian maka Peradilan Agama sederajat, setara dan sejajar dengan lingkungan peradilan lain dalam pembinaan organisasi, administrasi dan finansiil serta pembinaan teknis yustisial.
Pada dasarnya konsep sistem satu atap (one roof system) adalah dalam rangka menuju independensi kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif). Selaras dengan ajaran Montesquieu tentang trias politika yaitu pemisahan kekuasaan pada dasarnya berintikan independensi masing-masing alat kelengkapan negara yaitu legistalif, eksekutif dan yudikatif. Montesquieu berpendapat bahwa setiap percampuran di satu tangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif seluruh atau dua diantaranya dipastikan akan menimbulkan kekuasaan atau pemerintah yang sewenang-wenang. Untuk menghindarinya maka alat kelengkapan organisasi yang satu harus independent terhadap lainnya.[3]
Hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.[4]
Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.
Ada tiga tugas hakim ketika memeriksa perkara, yaitu 1) Mengkonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak, apakah peristiwa hukum yang diajukan itu benar-benar terjadi atau tidak. Hakim berupaya mengetahui dan meyakini apakah peristiwa hukum seperti yang telah diajukan tersebut benar adanya atau tidak. 2) Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Maksudnya, hakim menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu memiliki hubungan hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan hukum inilah yang dirijuki dan dijadikan dasar hukum dalam pengambilan keputusan. 3) Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya, atau memberikan putusan kepada para pihak yang berperkara.[5]
Tugas hakim dalam memeriksa suatu perkara dengan selalu berpedoman pada rujukan peraturan perundangan serta Kode etik profesi dan ditambah pula dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk selalu menggali rasa keadilan di masyarakat, tidak semua permasalahan ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur masalah tersebut, Untuk mengatasi masalah hal ini hakim tidak perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam keadaan demikian tepatlah apabila hakim diberi kebebasan untuk mengisi kekosongan hukum.
Untuk mengatasi masalah tersebut hakim dapat menyelesaikannya dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang dikenal dengan hukum adat. Kewenangan hakim untuk melakukan hal demikian ini sesuai pula dengan apa yang telah ditentukan dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. seorang Hakim yang tidak hanya menjadi corong Undang-undang, tetapi yang jauh lebih penting selaku corong hukum dan keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat, dapat berwujud dan tidak hanya diangan-angankan belaka. Persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.[6]
Kemandirian hakim sebagaimana pasal 3 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 menyebutkan, bahwa dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dimaksud dengan kemandirian hakim adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis.[7]
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di peradilan hakim adalah bebas artinya hakim tidak berada di bawah pengaruh atau kekuasaan manapun. Jaminan kebebasan hakim ini dikuatkan dengan memberikan sanksi pidana bagi orang yang melanggar ketentuan tersebut. Sebagaimana dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kebebasan dari pihak ekstra yudisial ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan Tugas Yudisial Tidak Dapat Diperiksa Sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan Oleh Undang-undang.[8]
Tujuan dari kebebasan hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara adalah agar pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran. Pada penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dinyatakan bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kebebasan hakim yang bersifat tidak mutlak tersebut dilakukan dengan kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasan dari setiap putusannya melalui perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan rakyat Indonesia.[9]
Berdasarkan kemandirian dan keyakinan hakim tersebut maka dapat dipahami bahwa peran hakim secara umum yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Dimana seorang hakim dapat menegakkan kebenaran dan keadilan dengan yaitu dengan cara:
Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang tidak lepas dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
Hal ini dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan asas-asas hukum baru, yang tidak lepas dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
Hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini ciptakan hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi.
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, dalam kenyataannya tidak ada perkara yang sama persis, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case.
Pasal 27 UUD 1945 menyatakan setiap orang mempunyai persamaan di hadapan hukum, disebut juga sebagai asas “equality before the law”.
Hakim ideal adalah hakim yang memiliki moralitas pribadi tinggi, tahu dan mampu membedakan perbuatan mana yang baik dan yang buruk, benar dan salah serta perbuatan yang adil dan tidak adil menurut sebagian besar masyarakat mampu menegakkan misi suci lembaga peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim Profesional merupakan internalisasi dari butir ke 10 dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Salah satu parameter seorang hakim profesional adalah dari karya profesi yang dibuatnya, yaitu putusan.
Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondusif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang Hakim. Jika ditelusuri, faktor-faktor yang mempengaruhi Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan yaitu Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency of Judiciary), kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya negara hukum (rechstaat).
Adapun hakim ideal dan profesional titik tekannya adalah pada moralitas tinggi dan memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berdasarkan kepandaian dan keahliannya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Kompetensi Absolut Peradilan Agama tertuang dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari'ah.[10]
Di dalam penjelasan ketentuan itu disebutkan bahwa yang dimaksud ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah meliputi bank syari'ah; lembaga keuangan mikro syari'ah. asuransi syari'ah; reasuransi syari'ah; reksa dana syari'ah; obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; sekuritas syari'ah; pembiayaan syari'ah; pegadaian syari'ah; dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan bisnis syari'ah.[11]
Dengan penegasan kewenangan peradilan agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksananya serta memperkuat landasan hukum mahkamah syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun”. sehingga menuntut adanya kesiapan sumber daya manusia (SDM) lembaga peradilan di Indonesia.
Di samping itu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.[12] Hukum yang sedang berkembang di masyarakat termasuk hukum ekonomi syariah yang sudah menjadi kewenangan peradilan agama, hakim mempunyai tugas untuk menegakkannya dengan cara-cara yang telah diatur dalam hukum acara peradilan agama.
Penyelesaian suatu sengketa harus mendapatkan perhatian serius sehingga para pihak dapat memperoleh kepuasan atas putusan peradilan. Dalam hal ini hakim harus memberikan putusan yang bermuatan kepastian hukum, keadilan dan manfaat. Hakim juga tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya melainkan harus memeriksannya.[13]
Perluasan kewenangan peradilan agama memutus sengketa ekonomi syariah menjadi tantangan bagi hakim, oleh karena itu hakim dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Sesuai dengan adagium ius curianovit bahwa hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih bahwa hukum belum atau kurang jelas.
Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H. dalam pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah Secara Virtual “Penguatan dan Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Yang Berkeadilan di Indonesia” Kerjasama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I. dengan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2020 menyatakan Konsep ekonomi yang dirumuskan oleh para pendiri Negara dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menekankan pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sesungguhnya mengandung makna yang selaras dengan konsep kemanfaatan (kemaslahatan) baik di dunia maupun di akhirat yang dianut dalam ajaran Islam, namun aktivitas ekonomi syari’ah belumlah menjadi primadona oleh karenanya Penguatan pada aspek substantif dilengkapi juga pada pembenahan pada aspek infrastruktur pendukung khususnya Sumber Daya Manusia. Dalam mempersiapkan sebuah kewenangan yang relative baru bagi Hakim Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’yah dimana pada tahun 2019 perkara yang ditangani Peradilan Agama sebanyak 373 perkara haruslah dilakukan oleh hakim-hakim yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Hakim dengan sertifikasi ekonomi syari’ah mendalami pendidikan tidak hanya pada Pusdiklat Mahkamah Agung namun juga dipersiapkan melalui lembaga pendidikan di luar negeri. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk menopang tumbuh dan berkembangnya sistem ekonomi berbasis syari’ah. Para Hakim sebagai ujung tombak dalam sistem peradilan memegang peranan yang penting untuk memastikan bahwa lembaga peradilan menjadi wadah yang ramah bagi semua elemen yang terlibat dalam aktifitas ekonomi syari’ah sekaligus menjadi institusi yang siap membangun kesadaran publik terhadap pentingnya ekonomi syari’ah dalam menopang ekonomi nasional bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.[14]
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama telah menyusun langkah-langkah strategis dalam menangani sengketa ekonomi syariáh, antara lain[15]
Dalam menangani ekonomi syariah, Klasifikasi mengenai substansi hukum dan faktor-faktor yang berkaitan, yaitu:
Sesuai dengan asas personalitas ke Islaman yang difahami dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa subyek hukumnya adalah :
Dalam pasal 50 disebutkan bahwa dalam hal terjedi sengketa hak milik atau sengketa dalam dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.[16] Sedangkan apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.[17]
Sengketa hak milik yang dimaksud dalam Pasal 50 di atas adalah berdasarkan kepemilikan yang didasarkan kepada selain ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Apabila terjadi sengketa milik yang didasarkan kepada ketentuan Pasal 49 tersebut, maka pengadilan agama tetap berwenang menyelesaikannya.
Yang perlu digaris bawahi adalah kata “subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam”. Ini menunjukkan bahwa realitas hukum yang dijemputnya masih jauh tertinggal bila dibanding dengan realitas hukum dan realitas sosial masyarakat saat ini yang tidak hanya menempatkan orang sebagai subyek hukum, tetapi juga badan hukum.
Dalam hal obyek sengketa adalah gugatan kepailitan, maka ada dua substansi kepailitan yang dimaksud, yaitu:
Dalam putusan pailit, harus diputuskan juga siapa curator perusahaan pailit untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka membayar hutang perusahaan pailit.
Dalam putusan mengenai PKPU diputuskan pula siapa pengurus perusahaan PKPU dengan tugas menstrukturisasi pembayaran utang.
Hukum Acara yang digunakan pada pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah adalah hukum acara yang berlaku saat ini ditambah dengan hukum acara sebagaimana hukum kepailitan yang berlaku.
Dalam obyek sengketa berkaitan dengan obyek hak tanggungan maka hakim dalam pemeriksaan perkara harus memeriksa apakah pada obyek hak tanggungan (tanah), telah dibuatkan bukti yang diatur di dalam sertifikat hak tanggungan. Pada sertifikat hak tanggungan telah tertulis kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat tersebut menjadikan sertifikat hak tanggungan itu executable dank arena pula pada obyek hak tanggungan tersebut tidak perlu diletakkan sita.
Selain alat bukti yang diatur di dalam KUH Perdata juga alat bukti telah diperluas seperti yang diatur di dalam UU tindak Pidana Terorisme, UU Pencucian Uang dan UU Penberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alat bukti elektronik baik yang masih ada di dalam alat elektronik maupun hasil cetakannya.
Pada umumnya debitur menghendaki agar obyek hak tanggungan terutama barang bergerak dibuatkan sertifikat fidusia. Kehendak itu untuk menambah keyakinan debitur akan terjaminnya terbayarnya utang debitur. Oleh karena itu dalam penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan hak tanggungan hakim perlu perlu memeriksa ada tidaknya sertifikat fidusia, karena obyek fidusia itu dipercayakan untuk dikelola oleh debitur.
Setiap akad/perjanjian harus tertulis lazimnya dilakukan di hadapan Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh UU untuk membuat akta.
Adapun sumber hukum materil yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memutus sengketa ekonomi syariah antara lain:
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan (2007), Penyelesaian Sengketa Ekonoi Syariah Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, makalah disajikan pada Diskusi Panel Fakultas Hukum Universitas YARSI, 14 Maret 2007.
A. Mukti Arto, (1996), Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Abdul Jamil, (2008), “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, disampaiakan dalam diskusi kelas PPs MSI UII Yogyakarta, 15 November 2008.
Abdul Halim Talli, “Integritas Dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara” dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014.
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Menyelenggarakan Peradilan: Suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
Chatib Rasyid dan Syaifuddin (2008), Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktik Pada Peradilan Agama, Yogyakarta, UII Pres.
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Pembuktian (Analisis terhadap kemandirian hakim sebagai penegak hukum dalam proses pembuktian), (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2016,).
Fence M. Wantu, “Kendala Hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di peradilan perdata”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volumen 25, Nomor 2, Juni 2013.
M. Hatta Ali, S.H., M.H. Makalah, dalam pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah Secara Virtual “Penguatan dan Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Yang Berkeadilan di Indonesia” Kerjasama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I. dengan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2020.
Nurlaila Harun, “Proses Peradilan Dan Arti Sebuah Keyakinan Hakim dalam Memutus Suatu Perkara Di Pengadilan Agama Manado” dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 2 Tahun 2017
Montesquieu, The Spirit of the Low edisi bahasa Inggris, 1949 hal. 150. dalam Bagir Manan (2004), “Satu Atap Kekuasaan Kehakiman”, disampaikandalam seminar nasional di UNISBA Bandung, 6 Maret 2004
Syamsuhadi Irsyad, (2006), “Kebijakan Mahkamah Agung Dalam Mempersiapkan Pengadilan Agama Untuk Menyelesaikan Sengketa Ekonomi”, makalah disampaikan pada Workshop dan Pelatihan Nasional di UMY, 26-27 Juli 2006.
Suyut Margono, (2000), ADR dan Arbritase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta, Ghalia.
Sudikno Mertokusumo, (1993), Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 4, Yogyakarta, Liberty.
UU No. 3/2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama.
UU No. 14/1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No. 30/1999 Tentang Arbitrase.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) diatur berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009
[1] Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
[2] Fence M. Wantu, “Kendala Hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di peradilan perdata”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volumen 25, Nomor 2, Juni 2013, halaman 206
[3] Montesquieu, The Spirit of the Low edisi Bahasa Inggris, 1949 hal. 150. dalam Bagir Manan, “Satu Atap Kekuasaan Kehakiman”, disampaikan dalam seminar nasional di UNISBA Bandung, 6 Maret 2004
[4] Cik Hasan Bisri.Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996
[5] Abdul Halim Talli, “Integritas Dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara” dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014, Hal. 2-3.
[6] Nurlaila Harun, “Proses Peradilan Dan Arti Sebuah Keyakinan Hakim dalam Memutus Suatu Perkara Di Pengadilan Agama Manado” dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 2 Tahun 2017, hal. 107
[7] Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Pembuktian (Analisis terhadap kemandirian hakim sebagai penegak hukum dalam proses pembuktian), (Bandung: 2016, CV Nuansa Aulia), hal. 40
[8] Ibid, hal 41
[9] Ibid. hal 41
[10] Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[11] Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[12] Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahum 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[13] A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal.13
[14] Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H. dalam pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah Secara Virtual “Penguatan dan Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Yang Berkeadilan di Indonesia” Kerjasama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I. dengan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2020.
[15] Dr. Drs.H. Aco Nur, S.H., M.H. Dirjen Badilag MARI, dalam pada Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah Secara Virtual “Penguatan dan Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Yang Berkeadilan di Indonesia” Kerjasama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung R.I. dengan Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2020.
[16] Ayat (2) pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
[17] Ayat (2) pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.