Pernikahan dini yang marak terjadi dan dialami remaja berusia di bawah 20 tahun masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) memaparkan bahwa perkawinan anak di Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia. Bahkan, berada di peringkat ke-2 di ASEAN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, sekitar satu juta lebih perempuan di Indonesia menikah sebelum berumur 18 tahun. Pernikahan anak di Indonesia yang tinggi ini disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya sosial atau lingkungan hidup, kesehatan, pola asuh, ekonomi, adat dan budaya, pendidikan, serta kemudahan akses informasi.
Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun dan memperketat aturan dispensasi kawin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, pengertian dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan. Dalam mengadili permohonan Dispensasi Kawin, Hakim berpedoman pada asas:
Pada tahun 2022, berdasarkan Laporan Keadaan Perkara Dispensasi Kawin Tahun 2022, Pengadilan Agama Lamongan menerima permohonan perkara dispensasi kawin sebanyak 462 perkara yang mana 3 perkara dicabut sehingga total perkara dispensasi kawin yang diputus adalah sebanyak 459 perkara. Sudah yakin dan saling mencintai menjadi alasan terbanyak yaitu pada 385 perkara. Sementara, alasan terbanyak kedua yaitu karena hamil sebanyak 74 perkara. Di tahun 2023, per bulan Januari 2023 diterima permohonan dispensasi kawin sebanyak 44 perkara dengan 39 perkara diantaranya sudah diputus. Alasan sudah yakin dan saling mencintai masih menjadi alasan terbanyak yaitu pada 27 perkara, sedangkan 7 perkara sisanya adalah karena hamil.
Pernikahan dini memiliki beberapa risiko, yaitu gangguan psikologis, kekerasan dalam rumah tangga, komplikasi kehamilan, perceraian, dan masalah ekonomi. Pernikahan dini dikaitkan dengan tingkat infeksi menular seksual yang lebih tinggi, kematian ibu dan bayi, potensi kanker leher rahim atau kanker serviks pada remaja dibawah 20 tahun, dan kelahiran prematur. Selain berdampak pada kesehatan fisik, terdapat dampak psikologis dari pernikahan dini yang perlu diwaspadai. Usia psikologis yang masih labil akan berakibat pula pada pola pengasuhan anak.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of American Academy of Pediatrics, menemukan dampak gangguan kejiwaan seumur hidup terkait pernikahan dini. Berdasarkan data penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pernikahan dini dikaitkan dengan gangguan kejiwaan seperti depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan bipolar. Kekerasan dalam rumah tangga mengarah pada gangguan kesehatan mental seperti depresi dan post traumatic stress disorder. Hal ini dapat terjadi kepada pasangan muda ketika menghadapi keguguran. Peristiwa seperti ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental dan trauma jangka panjang.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa remaja cenderung belum mampu dalam mengelola emosi dan mengambil keputusan dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga ketika terjadi konflik dengan pasangan. Dampak psikologis pernikahan dini sering kali berkaitan dengan alasan terjadinya pernikahan. Di Indonesia misalnya, pernikahan dini berkaitan dengan tekanan keluarga, tingkat ekonomi, kehamilan pranikah, dan paksaan pasangan. Meskipun sebelum pernikahan terjadi tidak ditemukan gangguan kesehatan mental pada seorang wanita, namun hal tersebut dapat berkembang seiring dengan berjalannya pernikahan.
Pernikahan dini tidak hanya menempatkan anak perempuan pada risiko infeksi menular seksual. Kondisi tersebut juga menyebabkan peningkatan risiko kematian ibu yang berusia 15 hingga 19 tahun akibat komplikasi selama kehamilan dan persalinan. Remaja perempuan cenderung melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, nutrisi yang tidak memadai, dan anemia. Pernikahan dini juga berkaitan dengan meningkatnya kemungkinan kematian neonatal, lahir mati, serta mordibitas dan moralitas anak dan bayi.
Dengan banyaknya dampak negatif dari pernikahan dini, diperlukan upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak salah satunya yaitu kolaborasi bersama secara sinergis dari berbagai pihak. Pengadilan Agama Lamongan ikut berperan aktif sebagai narasumber dalam pertemuan-pertemuan maupun diskusi mengenai upaya pencegahan perkawinan anak. Diharapkan dari pertemuan-pertemuan dan diskusi tersebut dapat menghasilkan suatu program atau tindakan nyata dalam meminimalisir pernikahan dini khususnya di Kabupaten Lamongan.
Dasar Hukum: