Terjadinya persinggungan antara manusia atau badan hukum dapat menimbulkan reaksi positif maupun reaksi negatif. Reaksi positif dalam transaksi bisnis dapat menguntungkan para pihak yang terlibat. Sedangkan reaksi negatif akan mengakibatkan kerugian dan menimbulkan sengketa bisnis bagi para pihak. Dalam hal telah timbul sengketa bisnis, maka para pihak bersengketa bebas memilih cara penyelesaian dan hukum yang akan digunakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam kontrak. Terdapat dua cara penyelesaian sengketa, yaitu dengan membawa sengketa tersebut ke pengadilan (litigasi) atau menyelesaikan sengketa tersebut diluar pengadilan (non litigasi).
Adapun penyelesaian sengketa diluar pengadilan terdiri atas berbagai macam cara, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase diantara para pihak. Penggunaan metode non litigasi untuk menyelesaikan sengketa bisnis sudah lama menjadi pilihan karena proses litigasi di pengadilan membutuhkan waktu yang lama dan dengan prosedur yang rumit, bersifat menang dan kalah yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsif. Oleh karenanya dengan beberapa kekurangan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, sebagian pengusaha lebih memilih penyelesaian melalui jalur non litigasi yaitu arbitrase. Hal ini dikarenakan arbitrase bersifat rahasia dan juga tertutup, hanya dihadiri oleh para pihak dan beberapa arbiter saja.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga terdapat beberapa kelebihan yaitu putusan arbitrase bersifat final and binding. Hal ini menandakan bahwa putusan arbitrase tidak bisa dilakukan banding dan/atau kasasi serta putusan tersebut juga bersifat mengikat. Berbeda dengan alternatif lain seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi yang hanya memberi solusi tanpa adanya putusan yang mengikat para pihak. Para arbiter yang telah ditunjuk harus menyelesaikan sengketa dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan terhitung sejak perkara sengketa tersebut dilaporkan sehingga proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih cepat dibanding dengan proses litigasi. Dalam batas waktu yang ditentukan, para arbiter harus sudah membuat putusan sengketa tersebut. Putusan yang dibuat para arbiter memiliki hak eksekusi selama putusan tersebut didaftarkan ke pengadilan sehingga putusan tersebut mengikat para pihak.
Di Indonesia terdapat tujuh lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional, yaitu:
Seluruh lembaga arbitrasi tersebut memiliki kewenangan masing-masing untuk menyelesaikan sengketa pada bidang yang telah ditentukan. Sengketa bisnis syariah adalah sengketa yang penyelesaiannya mengacu pada hukum islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis syariah di Indonesia adalah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah. BASYARNAS memiliki hukum acara arbitrase tersendiri yang dapat dijadikan pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa. Dasar hukum yang dipakai dalam penyelesaian sengketa melalui BASYARNAS yaitu hukum islam dan hukum nasional. Peraturan prosedur BASYARNAS mengatur dasar hukum yang digunakan yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, SK MUI, dan Fatwa DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).
Para pihak yang telah sepakat untuk menyelesaikan sengketanya di BASYARNAS, maka akan diselesaikan dan diputus menurut peraturan prosedur BASYARNAS. Adapun prosedur dalam menyelesaikan sengketa adalah:
Faktor penunjang dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah yaitu kemampuan arbiter, bukti lengkap, para pihak datang, dan proses cepat. Sedangkan faktor penghambat dibagi menjadi dua yaitu hambatan yuridis dan hambatan non yuridis. Hambatan yang bersifat yuridis yaitu, perlawanan pihak ketiga, perlawanan pihak tereksekusi, permohonan peninjauan kembali, amar putusan tidak jelas, dan objek eksekusi adalah barang milik negara. Hambatan yang bersifat non yuridis, yaitu pengerahan massa, adanya campur tangan pihak lain, dan peninjauan barang bukti yang hanya dapat diselesaikan di pusat saja yaitu di Jakarta.
Apabila putusan arbitrase kurang memuaskan para pihak bersengketa, maka dapat diajukan pembatalan putusan arbitrase yaitu ke pengadilan negeri dengan mengajukan alasan-alasan sesuai dengan unsur-unsur yang ditetapkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan inilah yang nantinya akan digunakan sebagai pertimbangan dalam memutuskan untuk mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Untuk persyaratan alasan permohonan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU/XII/2014. Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sudah jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan lain. Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 72 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa pembatalan putusan arbitrase harus diselesaikan dalam waktu 30 hari oleh Pengadilan sejak permohonan pembatalan perkara diterima.
Dasar Hukum: