img-logo img-logo
Detail Artikel
Asas Resmi Dalam Panggilan Surat Tercatat
Tanggal Rilis Artikel : 17 Juli 2024, Pukul 22:28 WIB, Dilihat 81 Kali
Penulis : Rahman Widiyantoro, S.H.
Asas Resmi Dalam Panggilan Surat Tercatat

Asas Resmi Dalam Panggilan Surat Tercatat 

Oleh : Rahman Widiyantoro, S.H.

  • Pendahuluan

Salah satu produk pengadilan adalah putusan. Putusan ideal adalah selain pasti memenuhi rasa keadilan yang melingkupi seluruh pertimbangan hukumnya (ratio decidendi), dan juga putusan yang bisa dijalankan, tidak hanya keadilan formil saja tanpa ada implementasi riil atas putusan itu. Namun putusan yang ideal itu harus bisa dilaksanakan (executable).

Proses penjatuhan putusan itu harus berasaskan atas hukum materill atau hukum formil, mulai dari pokok perkara itu sampai dengan cara dalam penanganan perkara tersebut. ketika mengelaborasi perihal hukum formil jalannya persidangan sampai akhirnya pembacaan putusan sidang yang terbuka untuk umum, telah banyak tahapan dan acara yang dilewati hingga pada akhirnya hakim memiliki kesimpulan atas korelasi hukum apa yang sedang terjadi dan hukum apa yang akan pantas diputuskan terhadap pada perkara. Mulai dari tahapan sebelum persidangan, saat persidangan hingga setelah persidangan. 

Tahapan sebelum persidangan juga menjadi salah satu hal yang paling utama dalam proses penentuan apakah putusan dapat dieksekusi, sebab dalam pra persidangan terdapat proses pemanggilan persidangan dengan andil yang begitu signifikan dalam persidangan, bukan hanya sekedar sebagai undangan agar pihak yang dipanggil datang menghadiri persidangan, namun pemanggilan juga menjadi dasar hukum akan kehadiran pihak dalam persidangan. kecacatan panggilan akan berdampak pada keabsahan putusan.

Pemanggillan adalah proses awal pemeriksaan persidangan pada tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi, agar proses pemeriksaan bisa berjalan sesuai dengan cara yang pakem, hal ini bergantung kepada validitas atau sah tidaknya pemanggilan dan pemberitahuan yang dilakukan oleh jurusita.[1] Hukum acara perdata mengatur tentang syarat-syarat sahnya surat panggilan, yang harus dilakukan secara resmi (official) dan patut[2] (properly). Hal inilah yang akan dibahas lebih dalam pada artikel ini, bagaimanakah suatu surat panggilan dapat dikatakan sah? 

Dengan adanya Perma 7 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, yang didalamnya mengatur tentang tata cara pemanggilan secara elektronik maupun melalui surat tercatat. Merupakan “inovasi” dibidang  administrasi persidangan yang memudahkan pemanggilan yang tidak lagi harus menggunakan cara “kuno” melalui jurusita secara langsung. Senada dengan hal tersebut Ketua Mahkamah Agung RI dalam  acara pembinaan teknis dan administrasi yudisial, Kamis (6/7/2023) di Makassar menjelaskan bahwa:

“Perma Nomor 7 Tahun 2022 mengatur tentang pemanggilan dan pemberitahuan putusan melalui surat tercatat. Hal ini sebagai bentuk terobosan dan pembaruan dalam mekanisme pemanggilan para pihak yang selama ini masih mengacu pada ketentuan HIR dan BRg.” [3]

Hal ini dinilai sebagai pengejewantahan salah satu asas peradilan yaitu  sederhana, cepat dan biaya ringan. Dimana persidangan melalui elektronik adalah cara yang bagus dalam memaksimalkan teknologi dan informasi sehingga pemanggilan dan pemberitahuan putusan bisa dilakukan dengan prinsip efektif dan efisien.

Secara gamblang Ketua Mahkamah Agung memberikan sinyal yang baik terkait dengan pemanfaatan teknologi dan informasi namun disisi lain menganggap HIR dan RBG kurang bisa mengakomodir asas peradilan tersebut. 

Pengertian Administrasi Perkara secara Elektronik adalah serangkaian proses penerimaan gugatan/ permohonan/keberatan/bantahan/perlawanan/ intervensi, penerimaan pembayaran, penyampaian panggilan/pemberitahuan, jawaban, replik, duplik, simpulan, penerimaan upaya hukum, serta pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen perkara perdata/perdata khusus/perdata agama/tata usaha militer/tata usaha negara dengan menggunakan sistem elektronik.[4]

Pasal ini adalah awal dari adanya pemanggilan secara elektronik dan melalui surat tercatat. Dimana tugas jurusita yang selama ini menjalankan pemanggilan dan pemberitahuan putusan secara langsung, menurut Perma 7 Tahun 2022 bisa diwakilkan melalui surat tercatat yang dikirim melalui jasa pengiriman yang sudah ditentukan oleh Mahkamah Agung. 

  • Rumusan Masalah

Bagaimana keabsahan asas resmi dalam pemanggilan secara surat tercatat?

  • Pembahasan 

Pengertian Surat Panggilan 

Surat Panggilan pada impiris sering disebut dengan jargon relaas panggilan harus berbentuk surat tertulis. Apabila surat panggilan dilaksanakan dengan cara lisan maka tentang keabsahan akan pemanggilan yang dilakukan tidak bisa dibuktikan, karena bentuk dengan tulisan ialah hal yang diharuskan oleh hukum. 

Dasar pemanggilan 

Aturan mengenai pemanggilan ini sendiri terdapat dalam HIR dan RBG, Rv, KHI, Putusan MA, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam HIR sendiri terdapat beberapa Pasal yang digunakan penulis untuk mengerjakan skripsi terkait dengan proses pemanggilan seperti:

a. HIR Pasal 121 ayat (1) 

“Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan.” 

b. HIR Pasal 122 

“Ketika menentukan hari persidangan, ketua menimbang jarak antara tempat diam atau tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang dan kecuali dalam hal perlu benar perkara itu dengan segera diperiksa, dan hal ini disebutkan dalam surat perintah, maka tempo antara hari pemanggilan kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja.” 

c. HIR Pasal 390 ayat (1) 

“Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.”

d. PASAL 121 AYAT (1) HIR dan Pasal 1 Rv menjelaskan surat panggilan pertama berisi :

  1. Nama yang dipanggil;
  2. Hari dan jam serta tempat sidang;
  3. Membawa saksi-saksi yang diperlukan;
  4. Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
  5. Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.

 

Adapun beberapa alasan mengenai asas resmi dalam panggilan surat tercatat penulis jabarkan sebagai berikut:

Alasan pejabat yang berwenang (cakap)

Pada praktiknya panggilan dilakukan dengan cara yang konvensional. Dalam artian secara tertulis melalui (relaas panggilan) yang dikirimkan secara langsung ke tempat atau domisili para pihak atau melalui pemanggilan media massa / media cetak.[5] Adapula pemanggilan yang diatur didalam Pasal 390 ayat (3) HIR tentang pemanggilan umum. Namun saat ini seiring adanya modernisasi kehidupan pemanggilan kepada para pihak mengalami perkembangan, panggilan tidak mutlak harus berbentuk tertulis dan diantar langsung kepada para pihak, namun dapat dilakukan secara elektronik sebagaimana diatur didalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik yang membagi panggilan dengan melalui  Elektronik (domisili elektronik)[6] dan  Surat tercatat.[7]

Sesuai dengan butir 2 SEMA no 1 tahun 2023 Bahwa surat tercatat sebagaimana dimaksud pada angka 1 dikirimkan oleh pengadilan dengan menggunakan jasa penyedia layanan pengiriman surat tercatat yang ditentukan oleh Mahkamah Agung.[8]  Artinya yang menghantarkan relaas adalah petugas jasa kirim yang tentukan oleh MA dalam hal ini adalah petugas dari PT POS. yang menurut penulis tidak merepresentasikan sebagai pejabat yang berwenang untuk mengirim relaas kepada para pihak. Karena dalam jabatan jurusita terdapat sumpah jabatan yang diikrarkan ketika jurusita dilantik sebagai jurusita. Serta dalam proses pengangkatan jurusita harus memenuhi persyaratan menurut pasal 40 UU 49 tahun 2009 salah satunya adalah harus menjadi jurusita pengganti minimal 3 tahun untuk diangkat sebagai jurusita serta minimal harus 3 tahun sebagai PNS di Mahkamah Agung untuk bisa diangkat sebagai jurusita pengganti.

Dari sudut pandang kompetensi Jurusita sudah memiliki kapabilitas untuk mengirimkan relaas disatu sisi sudah mengerti alur kerja di lingkungan Mahkamah Agung disatu sisi sudah memenuhi kualifikasi sebagai jurusita. Hal ini yang mungkin sulit untuk dipenuhi oleh “kurir” PT POS yang menurut penulis kurang mengenal budaya kerja dan kompetensi “memanggil” para pihak. Sebagai pegawai PT POS yang merupakan pegawai kontrak, tentu bisa saja tiap tahun terjadi pergantian petugas kurir pada PT POS. Dibandingkan dengan syarat menjadi jurusita pengganti saja minimal menjadi pegawai negeri sipil adalah 3 Tahun. 

Jika turn over pegawai kurir yang begitu tinggi tentu kualitas pelayanan sulit dijaga apa lagi untuk memenuhi standar sebagai jurusita. Karena hakikatnya tugas jurusita tidak hanya sekedar mengantar relaas namun ada beberapa hal yang harus dipastikan diterima dan dimengerti oleh pihak yang dipanggil, seperti pemberitahuan dokumen-dokumen yang disiapkan, saksi-saksi yang harus dibawa serta konsekuensi jika tidak menggunakan haknya. Hal ini semata-mata implementasi dari salah satu nilai-nilai utama MA yaitu butir ke 8 perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Sebagai kurir PT POS tentu tidak hanya mengantar surat tercatat yang dikerjakan, pasti ada pengiriman oleh pengguna PT POS yang lain. Untuk memenuhi standar yang penulis sebutkan diatas, penulis ragu terhadap asas Resmi pada proses pemanggilan para pihak.

Alasan Pengawasan     

Sebagai organisasi yang mengedepankan prinsip akuntabilitas kerja, Mahkamah Agung tidak luput untuk selalu menjaga profesionalisme aparatur peradilan. Sebagai contoh jabatan jurusita memiliki kode etik yang dipedomani dalam menjalankan tugas sebagai jurusita baik dalam menjalankan tugas maupun diluar kedinasan. Hal semacam ini merupakan tindakan preventif sebagai antisipasi jika ada jurusita yang tidak profesional. Disamping itu mudah bagi Mahkamah Agung jika terdapat jurusita yang kedapatan tidak menjalankan prinsip profesional dan tidak menjalankan kode etik untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Berbeda dengan Kurir PT POS yang merupakan pihak ketiga, apakah pengawasan dan pembinaan itu bisa berjalan dengan baik dan secara maksimal. penulis masih belum menemukan jawaban akan hal tersebut. Meski dengan membaca MOU antara Mahkamah Agung dan PT POS, tidak penulis temukan pengawasan langsung oleh Mahkamah Agung, hanya jika terdapat sengketa mengedepankan diselesaikan secara kekeluargaan.    

Alasan bertentangan dengan peraturan yang lain

Dengan menunjuk kurir PT POS sebagai pengantar relass telah bersebrangan dengan Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya yang dilakukan jurusita panggilan dianggap resmi dan sah. Jadi pemanggilan yang dilakukan diluar jurusita adalah ilegal dan bisa menodai asas resmi dan patut dalam pemanggilan.

Selain dari hal yang penulis sebutkan diatas, ada hal yang mengganjal bagi penulis, bagaimana sebuah SEMA (surat edaran Mahkamah agung ) bisa melangkahi peraturan diatasnya. Dan kenapa tidak dalam bentuk Perma saja, baik yang SK KMA 363 atau SEMA 1 Tahun 2023. Karena sudah jelas dalam kekuatan hukumnya bahwa dalam mengisi kekosongan hukum acara Mahkamah Agung berwenang menerbitkan peraturan perundang-undangan melalui Perma dan bukan yang lain.

PENUTUP

Kesimpulan

Setelah penulis melakukan kajian secara singkat penulis berkesimpulan bahwa panggilan melalui surat tercatat tidak memenuhi unsur Resmi sebagai salah satu asas yang wajib ada dalam proses pemanggilan. Dengan tidak kompetennya petugas kurir, serta pengawasan dan pembinaan yang kurang jelas bisa dilakukan terhadap pemanggilan yang dilakukan oleh Petugas kurir PT POS, dan yang terakhir bahwa pemanggilan selain yang dilakukan oleh jurusita adalah tidak sah sesuai dengan Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR.

Mungkin diawal karya tulis ini, penulis menampilkan pendapat YM Ketua Mahkamah Agung terkait dengan adanya perma 7 tahun 2022 yang dianggap sebagai terobosan baru dibidang hukum serta mampu mewujudkan asas sederhana, cepat dan biaya ringan, mohon maaf kali ini saya harus dissenting opinion terhadap apa yang telas disampaikan oleh YM Ketua Mahkamah Agung.

Karena sesungguhnya menegakkan keadilan tidak hanya mampu menerapkan asas peradilan namun harus secara nyata memberikan keadilan bagi para pihak, dengan tidak megurangi hak Tergugat yang mungkin saja bisa terganggu karena kurang cakapnya petugas panggil oleh kurir PT POS.

Saran 

Sebagai bagian dari aparatur peradilan rasanya malu jika tidak memberikan masukkan terhadap instansi tercinta ini. Ada beberapa saran yang mungkin bisa ditelaah lebih lanjut guna perbaikan dimasa yang akan datang. 

Pertama, jika ingin melanjutkan kerjasama antara Mahkamah agung dan PT POS, harus dilakukan reagrrement ulan dan dalam MOU yang baru dimasukkan dalam poin kerjasama yaitu 

  • tentang, pengawasan dan pembinaan langsung oleh Mahkamah Agung. 
  • Selanjutnya melibatkan Mahkamah Agung sebagai bagian dari recruiter calon kurir atau bisa berbagi terkait dengan kode etik jurusita. 
  • selanjutnya Mahkamah Agung harus dilibatkan dalam penyusunan SOP kerja Kurir dalam pemanggilan surat tercatat. 
  • Monitoring dan evaluasi kerja secara berkala oleh MA dan PT POS

Kedua adalah merubah peraturan sema 1 tahun 2023 dan skkma 363 tahun 2022 dijadikan sebagai PERMA. Hal ini untuk menjaga keselarasan peraturan perundang-undangan yang ada di lingkup MA.

Ketiga yaitu penghapusan pemanggilan surat tercatat. Karena penulis nilai sedikit problematik sebaiknya dikembalikan dengan metode lama sambil menunggu konfigurasi hukum yang lebih selaras dan nyambung.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Martokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2002.

Suadi ,Amran, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan secara Elektronik, KENCANA, Jakarta, 2020.

Undang undang nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

PERMA nomor 1 tahun 2019 tentang Admistrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik

PERMA Nomor 7 tahun 2022 tentang perubahan perma 1 tahun 2019 tentang Admistrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363 /KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik

Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan Dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 213

Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 2002) Hal 89 diakses pada tanggal hari minggu pukul 12.34 Wib.

Pasal 1 ayat 6 Peraturan Mahkamah Agung Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik.

Pasal 27 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan

Amran Suadi, Pembaruan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan

secara Elektronik, (Jakarta: KENCANA, 2020), hlm. 63.

Pasal 1 ayat 13 Peraturan Mahkamah Agung Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara Elektronik.

butir 2 SEMA no 1 tahun 2023