Kraksaan, Rabu (22/10/2025) – Ketua Pengadilan Agama Kraksaan, Drs. Zainal Arifin, M.H., mengikuti kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Ranperma) tentang Implementasi Eksekusi Hak Asuh Anak secara daring. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan diikuti di ruang kerja beliau pada pukul 13.00 WIB. Forum ini menjadi sarana strategis untuk memperkuat sinergi antarinstansi dalam penyusunan kebijakan perlindungan anak.

FGD dihadiri oleh berbagai unsur internal dan eksternal KPAI, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Luar Negeri, serta Bareskrim POLRI. Selain itu, turut hadir perwakilan Komisi Kepolisian Nasional RI, Set NCB-Interpol Indonesia, Kapolda se-Indonesia, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama se-Indonesia. Kegiatan juga dihadiri oleh UPTD PPA DKI Jakarta, KPAD se-Indonesia, organisasi pegiat anak, akademisi, serta Tsania Marwa, yang hadir sebagai saksi dalam judicial review Pasal 330 KUHP tentang pengambilan paksa anak.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengumpulkan data dan informasi terkait layanan pengasuhan anak, serta mengidentifikasi isu-isu hukum, psikologis, dan sosiologis dalam eksekusi hak asuh anak. Selain itu, kegiatan juga bertujuan menghimpun perspektif dari hakim, akademisi, psikolog, aparat penegak hukum, kementerian, dan lembaga terkait. Hasil FGD diharapkan mampu merumuskan rekomendasi Ranperma serta membangun kesepahaman antar pemangku kepentingan dalam pelaksanaan eksekusi hak asuh anak.

Sebagai narasumber utama, hadir Dra. Magdalena Sitorus, Ketua Sahabat Anak dan Perempuan Indonesia, dan Drs. H. Busra, S.H., M.H., Hakim Agung pada Kamar Agama Bidang Perkara Anak dan Keluarga Mahkamah Agung RI. Dalam pemaparannya, Drs. H. Busra menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi hak asuh anak harus memperhatikan prinsip kemanusiaan dan kepentingan terbaik anak. “Setiap proses eksekusi tidak boleh hanya berpijak pada aspek hukum formal, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi psikologis anak agar tidak menimbulkan trauma,” ujarnya.