PA Kota Kediri ikuti Diskusi MA RI dengan FCFCOA secara daring bertajuk “Reviewing Evidence of Family Violence in Family Law Cases”
PA Kota Kediri ikuti Diskusi MA RI dengan FCFCOA secara daring bertajuk “Reviewing Evidence of Family Violence in Family Law Cases”
Tanggal Rilis Berita : 27 Juni 2024, Pukul 20:38 WIB, Telah dilihat 15 Kali
Satuan Kerja : Pengadilan Agama Kodya Kediri
Whats-App-Image-2024-06-26-at-19-09-01

Kediri, 26 Juni 2024 - Ketua, Hakim, Para Panmud, Para Panitera Pengganti, dan beberapa Pegawai PA Kota Kediri, khususnya di bagian Kepaniteraan, mengikuti diskusi secara daring yang digelar oleh Mahkamah Agung RI bekerjasama dengan FCFCOA (Pederal Circuit and Family Court Of Australia). Diskusi ini membahas tentang peninjauan bukti kekerasan dalam rumah tangga pada perkara hukum keluarga. Dalam dialog ini, hadir sebagai Key Note Speaker yaitu Chief justice William Alstergen dari FCFCOA, Dr. Yasardin SH, M.Hum selaku Hakim Agung MA RI, dan Drs. H. Wahyu Widiana, M.A. selaku Penasihat Senior AIPJ2 sebagai moderator. Selain Itu juga hadir sebagai narasumber yaitu Judge Liz Boyle (Hakim FCFCOA), Ruslan, S.Ag, S.H, M.H. (Ketua PA Bogor), Sonny A. Blegoer Laoemoery, S.H (Wakil Ketua PN Bogor), dan Fitria Villa Sahara, S.I.P, MCOMDEV (Co-Direktur PEKKA).

Whats-App-Image-2024-06-26-at-19-09-03

Acara pada siang hari ini diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan Himne Mahkamah Agung. Pembukaan diawali dengan sambutan dari Yang Mulia Dr. Yasardin SH, M.Hum. Dalam sambutannya beliau menyampaikan bahwa kerjasama peradilan antara MA RI, AIPJ2 dan FCFCOA telah terjalin selama 20 tahun yang secara konsisten telah melahirkan berbagai kegiatan. Di Indonesia telah diterbitkan UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT sebagai bentuk komitmen negara dalam menjamin untuk mencegah KDRT, menindak pelakunya, melindungi korbannya, dan mencegah penelantaran keluarga. Kemudian MARI menerbitkan Perma No 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan berhadapan dengan hukum. Selain itu juga diterbitkan SEMA No. 1 Tahun 2022 yang disempurnakan dengan SEMA No. 3 Tahun 2023.

Whats-App-Image-2024-06-26-at-19-09-02-1

Selanjutnya sambutan Chief justice William Alstergen dari FCFCOA juga menyampaikan apresiasinya atas relasi yudisial yang telah dibangun selama 20 tahun ini dengan MA RI juga komitmen dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Diskusi dipimpin oleh Drs. H. Wahyu Widiana, M.A. selaku Penasihat Senior AIPJ2 sebagai moderator, kemudian beliau mempersilahkan Judge Liz Boyle (Hakim FCFCOA) untuk menyampaikan materinya. Judge Liz Boyle (Hakim FCFCOA) menjelaskan definisi kekerasan dalam keluarga, ragam perbuatan kekerasan dalam keluarga, bagaimana akibatnya, serta dampaknya terhadap perkembangan fisik dan psikis seorang anak. Selain itu juga beliau menyampaikan Langkah-langkah yang dapat diambil dalam memberikan perlindungan bagi korban kekerasan, serta panduan praktis yang dirancang untuk pengguna pengadilan, praktisi hukum, pihak berperkara dan penyedia layanan hukum.


Pemaparan materi berikutnya dari Ruslan, S.Ag, S.H, M.H. (Ketua PA Bogor) yang menyampaikan tentang problematika Perkara Cerai karena KDRT. Menurut Beliau ada 3 Problem yang dihadapi pengadilan-pengadilan di lingkungan agama berkenaan dengan perkara cerai yang diajukan dengan alas an KDRT, yaitu Problem Penafsiran, Problem Pembuktian, dan Problem Pelaporan. Untuk meminimalkan terjadinya multitafsir dan disparitas putusan, Kamar Agama Mahkamah Agung perlu segera menyusun rumusan hukum baru yang lebih jelas dan rigid berkenaan dengan definisi dan ruang lingkup KDRT dalam perkara cerai di lingkungan peradilan agama, serta diperlukan penjabaran lebih lanjut mengenai alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil untuk membuktikan adanya KDRT, khususnya mengenai bukti berupa surat keterangan dari dokter atau psikolog, dokumen elektronik, saksi anak kandung, dan penerapan asas unus testis nullus testis.
Selaras dengan Ketua PA Bogor, Wakil Ketua PN Bogor juga menyampaikan bahwa beberapa permasalahan KDRT sebelum perceraian yaitu Ketakutan mengungkap Ancaman dari Pelaku, rasa malu, minimnya akses ke layanan bantuan, stigma sosial, pengangan terhadap laporan yang berlarut-larut, kesaksian yang menguras emosi karena korban harus menceritakan kembali kejadian traumatis, adanya ancaman agar mencabut laporan atau gugatan, juga pengaruh terhadap putusan pengadilan mengenai hak asuh anak, pembagian harta, dukungan finansial.

Whats-App-Image-2024-06-26-at-19-09-02

Fitria Villa Sahara, S.I.P, MCOMDEV (Co-Direktur PEKKA) menyampaikan Yayasan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) ini mendampingi serta membimbing para Perempuan-perempuan penyintas kekerasan dalam rumah tangga dan menjadi penangung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Para Paralegal PEKKA melakukan pendampingan tidak hanya kepada Perempuan-perempuan yang telah bercerai (baik cerai mati maupun hidup) namun juga Perempuan yang suaminya tidak bekerja, disabilitas, sakit merantau, juga korban poligami. Beliau menyampaikan perlunya memberikan perlindungan terhadap Perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga pasca perceraian sebagai kaum rentan yang telah bercerai juga memastikan pemenuhan hak-hak mereka terpenuhi setelah terjadinya perceraian secara hukum.

Banyaknya permasalahan yang terjadi dalam penanganan perceraian yang disebabkan oleh factor KDRT, membutuhkan pedoman-pedoman lebih lanjut dari MA RI sebagai Lembaga tertinggi peradilan di Indonesia. Diperlukan pula koordinasi dari berbagai pihak untuk memberikan perlindungan, keamanan, dan terjaminnya pemenuhan hak-hak Perempuan dan anak penyintas KDRT pasca perceraian. Acara diskusi ditutup dengan statement dari Bapak Drs. H. Muchlis, S.H, M.H (Dirjen Badilag MA RI). Beliau menyampaikan pentingnya bagi kita untuk berhati-hati dalam mengidentifikasi suatu perkara, menentukan fakta hukum dari fakta peristiwa yang dibutuhkan kecermatan, ketelitian, Kemahiran seorang hakim oleh karenanya kegiatan diskusi ini tentu menambah wawasan bagi kita sehingga kita dengan terus memberikan putusan yang berkualitas bagi pencari keadilan. (end)