Jum’at, 11 Oktober 2024, Pengadilan Agama Kabupaten Malang mengikuti kegiatan Diskusi Hukum Pengadilan Agama Sekoordinator Malang. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Koordinator Malang dimulai pukul 13.00 WIB bertempat di Ballroom Hotel Santika Premiere Malang. Hadir pada kegiatan tersebut, Wakil Ketua PA Kab. Malang – H. A. Zahri, S.H., M.H.I. beserta Hakim dan Panitera Pengganti di PA Kab. Malang. Hadir pada kegiatan tersebut, Ketua PA Kab. Malang - Drs. H. Misbah, M.H.I., Wakil Ketua - H. A. Zahri, S.H., M.H.I. beserta seluruh Hakim PA Kab. Malang.
Kegiatan tersebut diselenggarakan berdasarkan Surat Pengadilan Agama Malang Nomor 4978/KPA.W13-A2/UND.HM3.1.3/X/2024 tanggal 8 Oktober 2024 tentang Pembinaan dan Diskusi Hukum Pengadilan Agama Koordinator Wilayah Malang. Acara tersebut juga dihadiri oleh enam Pengadilan Agama yang tergabung dengan Koordinator Malang diantaranya adalah PA Malang, PA Lumajang, PA Bangil, PA Pasuruan dan PA Probolinggo. Kegiatan dibuka dengan sambutan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya - Dr. Hj. Rokhanah, S.H., M.H.
Tema yang diangkat pada kegiatan tersebut yakni “Supremasi Hukum Pembatasan Usia Minimal Perkawinan Perspektif Teori Maqasid Al-Syariah Imam Asy-Syatibi”. Narasumber pada acara tersebut adalah H. Achmad Fausi, S.H.I., M.H. – Wakil Ketua PA Probolinggo. “Tujuan pembatasan usia menikah adalah untuk mencegah kematian ibu dan anak, meningkatkan taraf pendidikan, memperbaiki taraf ekonomi, menekan angka perceraian dan KDRT dan memperbaiki kualitas keturunan”, ujar narasumber. Teori Maqasid Syatibi menjelaskan bahwa Pelanggaran batas minimal usia perkawinan yang ditandai dengan praktik perkawinan anak, baik dilakukan oleh masyarakat maupun hakim melalui kewenangannya, bukan saja bentuk ketidakpatuhan terhadap supremasi hukum perkawinan, tetapi juga secara implisit merupakan bentuk ketidaktaatan terhadap perintah agama.
Hal ini disebabkan karena berdasarkan teori maqasid al-syariah Imam Asy-Syatibi, spirit yang terkandung di balik pembatasan usia minimal perkawinan ekuivalen dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Islam, yakni demi terwujudnya keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu perlu diterbitkan SEMA yang mengatur supaya tidak terjadi disparitas penetapan hakim dan paradigma mengadili sejalan dengan spirit perlindungan perempuan dan anak. Hakim dengan kewenangan yang besar harus teliti dan cermat dalam menmgadili perkara Diska karena perkawinan anak tengah menjadi fenomena sosial yang meresahkan serta perlu sistem peradilan interkoneksi yang mampu membingkai isu perlindungan anak dalam instrumen hukum sebagai sarana mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan