Dalam rangka meningkatkan kompetensi tenaga teknis pengadilan, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menggelar bimbingan teknis secara online. Kegiatan Bimbingan Teknis Peningkatan Kompetensi Tenaga Teknis di Lingkungan Peradilan Agama ini mengambil tema “Hadhanah dalam Perspektif Perlindungan Hak Perempuan dan Anak”. Sebagai narasumber kegiatan ini adalah Yang Mulia Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bapak Drs. H. Busra, S.H., M.H.
Acara dimulai tepat pukul 08.30 WIB pada hari ini Jumat 9 Desember 2022. Acara diikuti secara daring oleh seluruh Pengadilan Agama di Indonesia termasuk PA Mojokerto. Ketua PA Mojokerto, Drs. Amanudin, SH., M.Hum., Wakil Ketua, Siti Hanifah, S.Ag., MH., beserta para hakim mengikuti kegiatan ini melalui Zoom Meeting di ruangan media center PA Mojokerto.
Acara dibuka dengan sambutan dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Dr. Drs. H. Aco Nur, SH, MH. Dalam sambutannya beliau menyampaikan betapa pentingnya bimtek ini bagi peningkatan kompetensi tenaga teknis pengadilan. Salah satunya adalah kompetensi yang sesuai dengan tema pada kegiatan ini yang secara tidak langsung merupakan wujud bagi perlindungan hak perempuan dan anak.
Beliau menekankan pada peningkatan kompetensi tenaga teknis pengadilan agar dapat menciptakan putusan yang baik dan berkeadilan bagi perempuan dan anak. Beliau mengambil contoh pada putusan dan penerapan perlindungan hak perempuan dan anak di berbagai belahan dunia. Seperti misalnya di Australia, apabila si pihak tidak memenuhi hak perempuan dan anak, maka yang bersangkutan tidak diizinkan untuk mengakses fasilitas publik yang disediakan.
Tiba pada sesi utama pada kegiatan ini yaitu materi dari Hakim Agung, YM Bapak Drs. H. Busra, S.H., M.H. Dalam pemaparannya YM menjelaskan pengertian hadlanah dengan istilah "pemeliharaan anak". Orang tua mempunyai kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak dalam pertumbuhan jasmani, rohani, kecerdasan dan agama.
Berbagai macam permasalahan hukum yang dialami dalam perkara hadlanah atau hak asuh anak. Di antaranya adalah perbedaan kewarganegaraan, agama, ibu yang murtad, bapak yang muslim tapi berkelakuan buruk, atau bahkan kedua orang tuanya berakhlak buruk. Para hakim harus mampu untuk menganalisa perkara tersebut dengan baik agar dapat memberikan hasil yang terbaik bagi si anak.