img-logo img-logo
PA SITUBONDO MENGIKUTI WEBINAR SOCIAL MEDIA READY
PA SITUBONDO MENGIKUTI WEBINAR SOCIAL MEDIA READY
Tanggal Rilis Berita : 13 November 2025, Pukul 15:06 WIB, Telah dilihat 6 Kali
Satuan Kerja : Pengadilan Agama Situbondo

Pegawai Pengadilan Agama Situbondo, Moh. Hilmi Amrullah, S.H., menunjukkan dedikasinya dalam memperkuat kapabilitas kehumasan instansi. Dedikasi tersebut diwujudkan melalui partisipasinya dalam sebuah sesi daring yang sangat krusial dan relevan. Acara yang diikutinya adalah Side Event Anugerah Media Humas (AMH) 2025, yang mengangkat tema "Social Media Ready" dengan subfokus Verify, Clarify, Respond. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu, 12 November 2025, yang diikuti oleh Moh. Hilmi Amrullah dari Ruang Kepaniteraan. Fokus utamanya adalah membekali ASN dengan strategi mutakhir dalam menangani krisis komunikasi di ranah digital yang serba cepat.

 

WhatsApp Image 2025 11 13 at 14.23.54

Sesi edukasi strategis ini dipandu oleh narasumber utama, Bapak Latief Siregar, yang memaparkan sebuah kerangka kerja penting. Kerangka kerja tersebut dikenal sebagai Framework: Social Media Crisis Ready Government. Framework ini dirancang untuk memastikan bahwa institusi pemerintah dapat merespons isu-isu negatif di media sosial dengan cepat, tepat, dan strategis. Latief Siregar menekankan bahwa kesiapan ini adalah prasyarat utama bagi lembaga publik di era digital. Tujuan akhirnya adalah membangun kepercayaan publik yang kuat melalui komunikasi yang transparan dan empatik.

WhatsApp Image 2025 11 12 at 14.33.02 1

Latief Siregar menguraikan empat pilar utama yang menyusun kerangka kesiapan krisis di media sosial. Pilar pertama adalah Awareness System, yang berfokus pada deteksi isu lebih awal. Hal ini mensyaratkan institusi untuk memiliki sistem pemantauan yang sensitif terhadap pergerakan isu di media sosial. Awareness System menjawab pertanyaan krusial: “Siapa yang pertama tahu kalau ada isu?” Deteksi dini memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan pencegahan sebelum isu tersebut membesar menjadi krisis yang tidak terkendali.

Pilar kedua adalah Empathy Narrative, sebuah pendekatan yang menekankan respons berbasis perasaan, bukan sekadar data. Menurutnya, respons awal terhadap isu sensitif harus dimulai dengan rasa dan empati, bukan langsung menyajikan fakta atau data yang bersifat defensif. "Mulailah dengan rasa, bukan data, karena emosi publik lebih dulu tersentuh daripada nalar mereka," ujar Latief Siregar, memberikan penekanan penting. Respons yang empatik akan meredakan ketegangan dan menunjukkan bahwa pemerintah benar-benar mendengarkan keresahan masyarakat.

Pilar ketiga dari framework ini disebut Collaborative Voice, yang mendorong pemerintah untuk melibatkan pihak luar dalam penanganan krisis. Pelibatan ini mencakup warga net yang berpengaruh serta tokoh-tokoh digital yang memiliki kredibilitas. Kerja sama ini penting untuk menyebarkan narasi yang benar secara efektif dan luas. Collaborative Voice secara tidak langsung menjawab pertanyaan: “Siapa yang berani menjawab?” dengan memilih pihak yang paling dipercaya oleh publik. Melibatkan suara dari luar birokrasi dapat meningkatkan validitas dan penerimaan pesan yang disampaikan.

Pilar penutup dan yang paling transformatif adalah Learning Loop. Prinsip utama dari pilar ini adalah mengubah setiap krisis menjadi pelajaran berharga, bukan trauma yang menakutkan. Setiap isu yang timbul harus dianalisis secara mendalam untuk memperbaiki sistem komunikasi dan pelayanan publik di masa depan. Konsep Learning Loop ini memastikan bahwa institusi pemerintah terus bertumbuh dan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan digital. Ini adalah proses perbaikan berkelanjutan yang mencegah kesalahan yang sama terulang kembali.